KITAB KUNING TERUS JALAN, EKONOMI JUGA HARUS DIPIKIR DAN DIKEMBANGKAN
Saya malam ini mendapat suatu kekaguman yang luar biasa. Kekaguman tersebut membangkitkan kembali untuk lebih jauh menguak beberapa manaqib atau sejarah dan mutiara-mutiara terpendam yang sudah banyak dilupakan. Sehingga, jangankan kiai yang jauh kiai yang berasal dari daerah sendiri saja banyak yang melupakan bagaimana sejarah perintisan pesantren atau madrasahnya. Sudah sangat jarang yang mau mencatatnya.
Padahal mereka adalah pelaku sejarah. Dimana para santri atau warga wilayah masing-masing jangan sampai kepaten obor (melupakan sejarah; red.). Karena sudah kepaten obor, terutama kita sendiri, sehingga sebagian tidak mau mencatat sejarah. Ujung-ujungnya kalau sudah kepepet baru melakukan ikhtiar tanya sana-sini, Tanya kepada Sarkub (Sarjana Kuburan). Itu akibatnya.
Maka dari itu, adanya haul seperti ini menjadi benteng yang luar biasa. Karena lewat lantaran seperti haul, maulidan, manaqiban, tahlilan, yasinan, nariyahan, dlsb. para ulama bisa memandang santri serta umatnya, umat bisa memandang ulama-kiainya, pejabatnya juga demikian, bisa berkumpul berkumpul bersama. Apabila kekuatan luar biasa tersebut tetap terjaga di Indonesia, itulah bagian dari kekuatan NKRI. Makanya oknum-oknum manusia dengan melihat yang demikian itu akan gatel kupinge (hasud), bagaimana caranya agar bubar dengan segala cara.
Karena di dalam kegiatan maulid atau haul akan membuka riwayat per-riwayat setiap para masyayikh, guru-guru kita semua. Tremas bagian dari pesantren tua. Diantara pondok-pondok pesantren yang ada di Jawa Timur mulai dari Kiai Hasan Besari serta para keturunannnya sangat banyak yang menyebar bukan hanya di Jawa Timur tapi juga Ngroto, Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah.
Dan rata-rata, Subhanallah, dari para muridnya Mbah Dim (KH. Dimyathi Tremas) 95% banyak yang jadi ulama dan wali, termasuk guru saya sendiri yakni Mbah Kiai M. Arsyad Bendokerep Cirebon. Beliau merupakan santri yang lama menimba ilmu dari Mbah Dim, hingga melanjutkan ke Mekkah berguru pada Kiai Mahfudz at-Turmusi (Tremas). Mbah Kiai Abdullah Hadziq Balikambang juga santri yang lama menimba ilmu dari Mbah Kiai Dimyathi Tremas. Para murid yang lainnya antara lain Mbah Kiai Dimyathi Kedawung dan banyak para ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah, lebih-lebih Jawa Timur.
Kita belum tentu bisa seperti itu, kenapa mereka bisa? Sebab, (semisal) Mbah Kiai Abdul Mannan Tremas berpuasa selama 3 tahun yang dihadiahkan untuk diri sendiri, keluarga dan para santrinya agar ilmunya bermanfaat. Kiai Zakaria Surojoyo Sindanglaut berpuasa selama 3 tahun untuk diri sendiri, 3 tahun untuk keluarganya, dan 3 tahun lagi untuk para santrinya. Sehingga wajar jika ilmu para santrinya menjadi bermanfaat. Itu diantara ijtihadnya (usaha kesungguhan/perjuangan) para ulama.
Adanya haul bukan muta’ashibin/bukan untuk menimbulkan kefanatikan yang menimbulkan pecah-belah. Melainkan untuk ibrah, mengambil pelajaran kenapa Mbah Kiai Dimyathi (misalnya) ilmunya bermanfaat, kenapa Kiai Abdul Mannan ilmunya bermanfaat, Kiai Mahfudz at-Turmusi ilmunya bermanfaat, dan melahirkan mutiara-mutiara yang tiada ternilai harganya. Apa sebabnya. Inilah yang perlu kita pelajari. Sehingga pulang dari haul bisa memetik oleh-olehnya, bisa dijadikan obat.
Dan beliau-beliau tidak terlepas dari punya andil besar untuk memperkuat akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Jangan anggap enteng tugasnya para kiai. Perjuangan para auliya itu bukan hanya di jaman Tremas, Lirboyo, Ploso, Bendokerep Cirebon, Buntet atau Babakan Ciwaringin, melainkan keberkahan mereka sejak dari para auliya jaman Wali Songo.
Dan jika saya bercerita, terutama untuk kalangan muda, jangan hanya bisa mantuk-mantuk saja tapi tulis dan catatlah agar tidak kepaten obor. Kita sering membuka buku sejarah, Islam masuk ke Indonesia dari abad ke 1 H., pendapat lain abad ke 2 H. Saat itu merupakan jaman katsratul fitnah, banyak terjadi fitnah yang luar biasa seperti kejadian antara Bani Umayyah dan Bani Abbas. Kekuasaan Bani Umayyah tak tanggung-tanggung hingga Spanyol. Kekuatan yang luar biasa 350 tahun (kemudian) tumbang. Sebab banyak berdiri kerajaan-kerajaan (Islam) seperti di Jawa (Nusantara) ini, Banten tumbang, Palembang tumbang, Aceh tumbang, Demak dan Cirebon pun tumbang. Padahal masing-masing kerajaan membawa bendera Islam dan perjuangan-perjuangan para ulama-ulama luar biasa. Sebabnya apa?
Sesudah (Bani Umayyah) menguasai Spanyol, banyak ulamanya yang didzalimi dan ditahan. Bahkan seperti Sayyidi Syaikh Abu Bakar al-Undulusi dan Abu Madyan al-Maghrabi sampai melarikan diri dari Spanyol hingga Tonjah atau Fes (Maroko) untuk menyelamatkan diri. Dari Tonjah nyala lampunya Spanyol kelihatan. Akhirnya kerajaan Islam di Spanyol pun tumbang.
Umat Islam jaman dulu berhasil menguasai Turki, namun beberapa tahun kemudian kerajaannya pun tumbang. Ulama-ulama tidak pernah putus asa tetap berjuang. Sampai dengan berdirinya kerajaan Malaka ketika diincar dan diserang oleh Portugis tahun 1511 M. Hingga Sultan Abdul Fattah mengirimkan pasukannya yang dipimpin Putra Mahkota Adipati Yunus. Ibunya Adipati Yunus adalah Dewi Asyiqah, putri dari Raden Rahmatullah Sunan Ampel.
Namun mengalami kegagalan karena menghadapi gelombang (laut) yang luar biasa. Sehingga menyebabkan banyak pasukan Demak mati syahid dan kapal-kapalnya sementara berlabuh di Palembang. Di Palembang inilah ada adik dan tempat kelahirannya Raden Fattah dahulu. Yang mana ibu Raden Fattah pernah dihadiahi sebidang tanah di sana oleh Aryo Damar saat sudah masuk Islam. Yang kemudian melahirkan keturunan bernama Raden Husain Pecattondo Kerung, yang semasa kecilnya sudah diikuti oleh Girindra Wardana, seorang yang pernah menaklukkan Brawijaya ke-V sehingga menyebabkan sang raja melarikan diri ke Gunung Lawu.
Perjuangan tidak pernah berhenti meskipun Malaka mengalami kekalahan jatuh ke tangan Portugis. Alhamdulillah, saat menyerang ke Maluku bisa dibendung oleh Sultan Khaerun, Sultan Zainal Abidin dan Maulana Babullah Ternate (kakak Sunan Gunung Jati) yang kuburannya berada di puncak gunung mengungguli tingginya makam Sunan Muria. Inilah perjuangan para santri terdahulu yang mengikuti para ulama.
Setelah mengalami kegagalan, (ada oknum yang) ngitik-ngitiki (membisiki/adu-domba) Girindra Wardana dengan Raden Fattah sehingga Majapahit yang diduduki Girindra Wardana diserang oleh Raden Fattah. Girindra Wardana pun mengangkat Raden Husain Pecattondo Kerung sebagai senopati, untuk menghadapi kakaknya sendiri (tunggal ibu beda ayah) yakni Sultan Abdul Fattah. Terpaksa mengalami kegagalan dan kemenangan di pihak Raden Fattah. Ini contoh untuk kita semua, untuk diambil pelajaran bagaimana akibatnya jika saudara dibenturkan dengan saudaranya sendiri.
Perang kedua terjadi pada jaman Patih Udara yang mengadakan perjanjian dengan Portugis untuk menyerang Demak. Peperangan ini pun mengalami kegagalan, kemenangan di pihak kerajaan Demak. Hingga tiang-tiang penyangga istana Patih Udara pun dibawa untuk dijadikan tiang Masjid Demak bagian depan.
Kemenangan demi kemenangan dialami, tapi Portugis tidak putus asa untuk mengadu-dombanya dengan Pajajaran. Dikirimlah Maulana Syarif Hidayatullah pada jaman Sultan Trenggono, karena Raden Fattah sudah wafat tahun 1518 M. Sedangkan Sunan Kudus ambil bagian memimpin bagian laut dengan dibantu para tentara Cirebon dan Banten. Padahal waktu itu Banten belum Islam, tapi rasa nasionalismenya luar biasa. Pihak Maulana Syarif Hidayatullah pun mengalami kemengangan, hingga Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang sekarang menjadi Jakarta.
Masa-masa tenang dan menang pun dirasakan, tiba-tiba Sultan Trenggono dibunuh oleh bocah berusia 13 tahun. Seperti dulu dibunuhnya Sayyidina Utsman oleh Abu Lu’lu’, yang di Iran kuburan Abu Lu’lu kuburannya diperbagus. Akhirnya yang terjadi adalah antara anak dengan anak pecah-belah memperebutkan warisan; yang ini ingin jadi ratu dan yang itu ingin menguasai, terjadilah perang saudara. Melihat itu Maulana Syarif Hidayatullah pun mengambil sikap dengan memisahkan diri dari Demak dan membentengi Pantura agar tidak dimasuki Portugis.
Untungnya pada jaman itu masih ada ulama yang bisa mendamaikan seperti Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), Maulana Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dan Raden Abdurrahman Said (Sunan Kalijaga). Para beliaulah yang saat itu bisa melerai dari pecah-belah ummat dan bangsa. Ini contoh, tugas para santri menjadi perekat. Akhirnya persatuan dan kesatuan tetap terjaga, dan terpilihlah Jaka Tingkir menjadi raja yang pindah ke Pajang.
Masa-masa tenang dan menang pun dirasakan, tiba-tiba muncul Belanda. Dengan VOC-nya menjajah secara halus melalui perdagangan, bukan tentaranya dulu yang masuk. Tanah demi tanah dikuasai dan dibeli (saat itu mereka dalam perlindungan kerajaan). Setelah tanahnya luas ditanamlah rempah-rempah, kemudian mereka diam-diam membuat benteng.
Setelah benteng-benteng Belanda berdiri, Sultan Agung akhirnya tahu dan mengendus adanya bahaya. Belanda kemudian diperingatkan berkali-kali tapi tetap tak berubah dengan pendiriannya. Dikirimlah pasukan Sultan Agung sebanyak 80.000 tapi mengalami kegagalan karena di sekitar benteng itu penuh dengan rawa-rawa penuh bahaya. Mengalami kegagalan hingga dua kali, termasuk diantara yang menjadi pasukan itu adalah pembesar Kota Pekalongan yakni Sayyid Muhammad Abdussalam yang terkenal dengan sebutan Bahurekso dan Kiai Hasan Ki Ageng Cempalo. Banyak lainnya yang turut berjuang dari para kiai dan santri. Berjuang bahu-membahu membela umara’nya, yakni Sultan Agung.
Meski gagal tetap tidak berhenti di tengah jalan dengan terus mengobarkan semangat juang, meningkatkan handarbeni (rasa memiliki) pada bangsa dna tanah air ini. Sehingga muncullah para pejuang tangguh seperti Kiai Hasan Maulani, seorang ulama dan wali Allah dari Slado. Kiai Hasan Maulani itu pernah dibuang ke Manado, Kiai Ahmad Rifai juga dibuang ke sana. Tokoh pejuang lainnya adalah Kiai Hasan Lengkong, Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Sentot Prawiroderjo serta para tokoh ulama lainnya yang tidak pernah lepas ikut andil berjuang untuk bangsa dan ummat ini.
Inilah perjalanan para santri hingga bisa membuat pesantren-pesantren. Karena pesantren merupakan pertahanan yang luar biasa dan kuat. Sehingga muncul oknum-oknum yang ingin mengobok-obok pesantren dengan mengatakan pesantren sebagai sarang teroris. (Padahal) Selama 22 tahun saya belajar di pondok pesantren belum pernah guruku mengajari jadi teroris, belum pernah mengajariku untuk melawan negara. Justeru setiap tanggal 17 Agustus para kiai (merayakannya) dengan cara melabur pagar pesantren dan merapikan dan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar. Seperti inilah yang ditugaskan para kiai kepada para santrinya (untuk merayakannya).
Maka dari itulah bagaimana caranya menggembosi dunia pesantren karena mereka (para oknum) tahu bahwa pesantrenlah yang menjadi benteng terakhir bangsa ini. Agar pesantren tak dipercaya lagi.
(Dari pesantren lah) bangkit para pejuang yang tak pernha mengenal putus asa, seperti Kiai Muqoyyim Sindanglaut, al-Habib Thoha bin Hasan yang memiliki pasukan Cipeting (pasukan malam) sebanyak 5.000, Kiai Abdullah Babakan Ciwaringin yang pertamakali para santri melakukan perlawanannya terhadap Belanda hingga Belanda memboikot keuangannya yang datang dari Aceh untuk membendung perjuangan para snatri. Inilah Hari Santri, tidak mudah perjuangannya dalam menanamkan cintanya pada bangsa, lebih-lebih terhadap agama dan akidahnya.
Di lain itu muncullah tokoh-tokoh luar biasa, maaf jangan dilihat latar belakang politiknya, seperti Pak Karno, Pak Harto, Agus Salim, Umar Said Cokroaminoto dan Kiai Ahmad Dahlan. Tokoh-tokoh pejuang bangsa yang luar biasa, ada yang melalui jalur pesantren, pendidikan, perdagangan, dlsb. Bagaimana cara menghidupkan al-iqtishadiyah (dunia pertanian), ilmu pengetahuan dan ekonomi, pesantren bukan sekadar melahirkan ahli baca kitab tekstual tapi tahu di dalamnya kitab.
Pesantren harus bisa menjawab tantangan jaman, selain hafidzul Qur’an, muhadditsin dan fuqaha dia juga ahli pertanian, ahli teknologi, ahli elektronik, ahli IT, dokter spesialis kandungan, dokter spesialias pankreas, dlsb. Bisa menjawab dan menjabarkan keuniversalan al-Quran dan apa yang ada di dalam al-Quran.
Santri tidak cukup hanya bertasbih dan tadarrus saja, tapi mampu menjadi tokoh pendidikan, tokoh pertanian, tokoh ekonomi, sebagaimana dirintis oleh Wali Songo dimana mereka mampu hidup berdampingan dengan yang berlainan agama. Jaman Pajajaran, jaman Majapahit, malah bisa membangun income hingga mendapatkan kepercayaan yang luar biasa.
Bukan membangun khilafiyah. Negara lain sudah maju dalam dunia elektro, IT, kedokteran, pendidikan, pertanian, perdagangan, sampai pesawat tempur dan persenjataan. Kita ketinggalan demi ketinggalan, yang ramai hanya bertengkar dan rebut terus. Pertanyaannya, sampai kapan hai santri Tremas, santri Lirboyo, santri Ploso, dan santri-santri yang lain? Bukan menumbuhkan ashabiyah-ta’ashub (fanatisme). Akhirnya kesempatan yang demikian (saat datang fanatik), masuklah oknum-oknum manusia untuk membenturkan sesama kita. Untungnya para santri dibegitukan tidak mempan. Alhamdulillah. Ini kritikan, bukan pujian.
Kapan kita akan bisa menjawab ini? Dan pertanyaan yang lebih jauh, sampai kapan kita bisa mengisi kemerdekaan ini? Para kiai dulu sudah banyak ikut andil dalam perjuangan tahun 45, 47 dan saat Belanda masuk lagi melalui sekutu. Para kiai masih bahu-membahu bersama tentara saling cancut taliwondo, seperti Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah, dll., ternyata kita ditikam dari belakang pada peristiwa tahun 48. Melek! Sadar! Alhamdulillah lolos, sampai tahun 65.
Tanya pada diri kita sendiri, kita sudah ikut mengisi dan andil apa dalam mengisi kemerdekaan ini? Kita sudah ikut andil apa pada peninggalannya para kiai untuk meneruskan perjuangannya? Tarik lagi ke atas, sudah ikut andil apa pada peninggalannya para Wali Songo? Tarik lebih jauh lagi, sudah ikut andil apa ngisi peninggalannya Kanjeng Nabi Saw.? Jangan sampai kita jadi santri yang membuat malu kedua orangtua, para guru, para sesepuhnya dan Nabi Saw. di hadapan Allah Swt. Mestinya dipersiapkan. Disamping agamanya kuat, akidahnya kuat, tapi bisa melahirkan dan menjawab tantangan ummat dan bangsa.
Kitab tetap berjalan, ekonominya lancar. Nasibnya dari sisi ekonomi selalu mundur dan mundur, mau mauju bagaimana? Jika ada pengajian, mauludan, tetap saja model proposal tidak ada berhentinya. Sudah jadi budaya. Sampai kapan sebetulnya proposal-proposal (yang demikian)? Ini kritikan. Mestinya kita harus berubah. Partisipasi kita tingkatkan untuk membangun ekonomi, membangun dunia pertanian. Apa dikira dalam al-Quran tidak ada?
Sunan Kudus itu luar biasa, seorang ekonom (disamping ulama besar). Buahnya sampai sekarang Kudus luar biasa ekonominya. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kudus. Sunan Derajat, ahli pertanian dan ahli ekonom disamping ulama besar. Kanjeng Sunan Bonang, gurunya para raja, para ulama, para wali, para senopati dan para pejabat kerajaan pada waktu itu. Diikuti dan ditaati karena beliau punya pendirian, orang hebat, tidak mudah ditarik kesana-kemari. (Mampu) menjadi bapak ummat dan bapak bangsa. Sunan Gunung Jati adalah seorang ahli strategi disamping ulama besar.
Semoga dengan adanya Haul Mbah Dimyathi dan Masyayikh Ponpes Tremas, bisa mencetak ummat, santri dan para murid yang bisa menjawab tantangan ummat dan bangsa serta tidak memalukan para orangtua, guru dan pendahulu kita. Amin.
Ditranskrip dan dialihbahasakan dari ceramah Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya pada acara Haul Masyayikh Ponpes Tremas di Pekalongan 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar