Selasa, 29 November 2016

THARIQAH MENURUT HABIB LUTHFI BIN YAHYA

THARIQAH MENURUT HABIB LUTHFI BIN YAHYA

Ma’rifat adalah “mengerti dan mengenal”. Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau mengenal sudah pasti mengerti. Jadi ma’rifat di sini adalah mengenal Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui sifat-sifatNya, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru pondasi. Untuk mengenal lebih jauh kita harus sering-sering mendekati Allah Swt. agar Allah juga mendekat dengan kita.

Makhluk Allah banyak yang mengerti tapi tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini, kita belajar mengenal Allah dan Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan ritual-ritual khusus untuk bisa lebih dekat dengan Allah dan agar kita juga tidak lalai dengan Allah.

Bila dalam mengenal Allah kita sudah dapat saling mengenal, berarti kita sudah semakin dekat dengan Allah. Tapi pasti pengenalan seseorang dengan Allah berbeda-beda, tergantung dengan tahapan-tahapannya. Itulah pentingnya wirid untuk mencapai tingkatan kema’rifatan yang tinggi.

Sebenarnya dalam thariqah yang dikhususkan adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub atau tazkiyatunnufus. Sedangkan bacaan-bacaannya (wiridan) adalah sebagai nilai tambahan untuk pendekatan kepada Allah Swt.

Thariqah sebagian besar adalah mengamalkan kalimat “La ilaha illallah” atau kalimat “Allah” sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan oleh thariqah itu sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam hati atau pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).

Wirid yang paling baik sebenarnya adalah membaca al-Quran, karena dalam hadits dijelaskan bahwa “Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah al-Quran”. Dialog dengan Tuhan adalah wirid yang paling indah. Kemudian membaca kalimat thayibah seperti lafadz “La ilaha illallah”, maka Allah akan menjamin surga bagi para pembaca kalimat tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya seperti istighfar, shalawat, tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu semua juga adalah kalimat-kalimat yang sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang biasa dibaca oleh para jamaah thariqah.

Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa, thariqah juga amalan yang tidak gampang untuk dijalani. Karena apabila terjadi kelalaian dalam pengerjaannya kita akan berdosa, sebab amalan dalam thariqah adalah suatu keharusan (kewajiban) untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari segi positifnya memang thariqah tersebut adalah proses kita untuk lebih mengenali Allah.

Disamping itu, thariqah dapat melepaskan kedua penyakit hati yang ada pada diri kita; untuk mengatasi kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Sebab amalan dalam thariqah adalah kewajiban maka orang akan berhutang apabila tidak mengerjakan amalan tersebut, dan akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan apapun. Dan thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas yang terdapat dalam dirinya yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah Swt.

Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati setidaknya orang tersebut mempunyai ketertarikan terhadap thariqah tersebut, karena kalau dilihat dari fungsi thariqah adalah menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan dzikirnya. Karena dari dzikir tersebut orang akan selalu tenang dan sabar dalam menghadapi setiap masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut akan selalu merasa dekat dengan Allah.

Kaitan Thariqah dan Syariat

Kalau kita pahami lebih lanjut, thariqah dan syariat sebenarnya memang tidak dapat dipisahkan, karena tujuan keduanya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang berthariqah tetapi ia meninggalkan syariat, maka itu juga salah karena ia telah meninggalkan kewajibannya.

Thariqah adalah buah dari syariat. Jadi kalau berthariqah tidak boleh lepas dari pintunya dahulu yaitu syariat. Karena syariatlah yang mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari mulai aqidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kitab Allah, para rasul, hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan dengan syariat pula kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Setelah kita dapat menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah memgetahui hukum-hukum dalam syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menuju thariqah dan belajar untuk mengenal Allah. Maksudnya bahwa thariqah adalah tingkatan bagi orang yang sudah cukup ilmunya, terutama yang sudah diwajibkan syariat. Karena tidak semua orang langsung dapat menuju pada tingkat thariqah.

Orang yang menuju thariqah haruslah mengetahui Allah, seperti mengetahui tentang sifat wajib dan mustahil Allah, dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz) Allah. Orang tersebut juga mengetahui tentang hukum-hukum dalam beribadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal yang membatalkan wudhu, rukun shalat serta hal-hal yang membatalkan dalam shalat. Dan juga orang tersebut dapat membedakan mana yang halal dan yang haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah dapat terpenuhi maka tidak ada salahnya apabila orang tersebut masuk ke dalam thariqah.

Antisipasi dalam Berthariqah

Perlu diketahui juga bahwa sufisme itu sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Jika kita tertarik pada thariqah atau perkumpulan dzikir tertentu, kita juga harus mengetahui tentang perkumpulan tersebut. Karena di jaman sekarang banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan mereka dan menyelewengkan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan.

Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti apakah thariqah tersebut dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut. Meskipun dalam dzikir yang dibaca itu memang dari Rasulullah Saw., namun terkadang ada kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari ajaran sehingga keluar dari jalan yang benar dan menyesatkan.

Pada thariqah yang kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah Qadiriyah, Syadziliyah, Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), jumlah thariqah yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan muktabar atau tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya, kemudian dari ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur atau tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai dengan guru yang jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.

Guru thariqah yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti tentang agama. Jika tidak mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti tentang agama? Sebab orang yang telah menapak jalur thariqah haruslah sudah sempurna syariatnya dan guru tersebut juga telah menjalankan semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang guru. Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu agama minimal bisa dilihat dari bacaan al-Qurannya. Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat antara lain dari kefasihannya membaca ayat-ayat al-Quran.

Memang dalam kenyataannya, terkadang banyak orang yang bingung tentang thariqah, ada yang ingin masuk tetapi belum sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum mengetahui tentang pentingnya berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk pada thariqah maka keimanan kita akan terbimbing. Disitulah peran para guru mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, ma’rifat kita tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut.

Antara Berthariqah dan Tidak

Bagaimana dengan orang yang tidak berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui syariatnya dahulu, artinya kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dapat dipahami. Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para rasulNya. Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya kita perlu meyakini apa yang telah disampaikannya, seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu dan lain-lain.

Orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui seorang mursyid. Sebagai contoh kalau kita ingin ke Mekkah dan kita belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya maka itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun yamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lain-lain. Meski orang tersebut sudah sampai ke Ka’bah namun apabila tidak tahu rukun yamani, dia tidak akan mampu untuk thawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin berthariqah haruslah melalui para guru atau mursyid, agar jalan yang ditempuh dapat berjalan dengan baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.

Agama Islam adalah agama yang fleksibel, yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak memberatkan kepada umatnya tentang suatu ibadah. Dalam arti orang Islam melakukan suatu ibadah itu menurut kemampuannya masing-masing, karena kemampuan seseorang dengan orang yang lain tentu berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa tingkatan-tingkatan seseorang dalam beribadah kepada Allah pun berbeda-beda pula. Memang tujuannya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tentu hasilnya akan berbeda menurut dengan usaha yang dilakukan.

Dalam beribadah tentu sekelompok orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai kesempurnaan untuk dapat mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara tersebut sah-sah saja asal tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, dan tidak menyesatkan.

Kaitan Thariqah dan Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu usaha peniadaan diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh oleh seorang sufi, melalui ritual-ritual khusus dan amalan-amalan yang berbeda-beda pula. Amalan-amalan tersebut ditunjukan untuk menyanjung Allah dan mengakui kebesaran Allah Swt. Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan penyayang. Barangsiapa yang ingin berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah akan mengabulkannya.

Thariqah itu min ahli la ilaha illallah, dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan Islam lalu ihsan. Makna ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah. Kalau tidak mampu, kita harus yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt. Dengan merasa didengar dan dilihat oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang Maha Kuasa.

Tasawuf itu sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari berbagai sifat yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang namanya saling dengki dan saling iri, justeru yang muncul adalah saling mengisi.

Tasawuf itu buah dari thariqah. Pakaian thariqah adalah tasawuf yang bersumberkan dari akhlak dan tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk masjd mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain, sebelum makan baca Basmalah dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam tasawuf sebagai bentuk rasa terimakasih kepada yang memberi rejeki. Kita ambil satu butir nasi yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita tidak bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.

Nah, kalau syariat itu terbatas. Maka jika syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak boleh berdekatan dengan orang Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian, mereka harus diajak bicara, mengapa mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga wibawa pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.

Berthariqah dan Batasan Usia

Jika belajar dzikir kepada Allah Swt. menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai tua. Bagaimana kalau masih muda meninggal? Yang terpenting adalah mereka mengerti tata urutan berthariqah, mengerti syarat dan rukunnya dulu seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan mustahil Allah, mengetahui halal dan haram.

Kalau menertibkan hati menunggu tua, nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda seyogyanya mereka mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah An-Nahdliyyah).

Apakah boleh mengikuti baiat thariqah, padahal masih belajar ilmu syariat? Setiap Muslim tentu boleh, bahkan harus, berusaha menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam di hatinya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan berthariqah. Namun berthariqah sendiri bukan hal yang sangat mudah. Karena, sebelum memasukinya, seseorang harus terlebih dulu mengetahui ilmu syariat. Tapi juga bukan hal yang sangat sulit, seperti harus menguasai seluruh cabang ilmu syariat secara mumpuni.

Yang diprasyaratkan untuk masuk thariqah hanya pengetahuan tentang hal-hal yang paling mendasar dalam ilmu syariat. Dalam aqidah, misalnya, ia harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Dalam fiqih, ia sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat, lengkap dengan syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh agama.

Jika dasar-dasar ilmu syariat sudah dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja ia tetap mempunyai kewajiban melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa dikaji sambil jalan. Syariat lainnya adalah umur yang cukup (minimal 8 tahun), dan khusus bagi wanita yang berumah tangga harus mendapat izin dari suami. Jika semuanya sudah terpenuhi, saya mengimbau segeralah ikut thariqah.

Semua thariqah, asalkan mu’tabarah, ajarannya murni dan silsilahnya bersambung sampai Rasulullah Saw., sama baiknya. Karena semua mengajarkan penjagaan hati dengan memperbanyak dzikrullah, istighfar dan shalawat. Yang terpenting, masuklah thariqah dengan niat agar kita bisa menjalankan ihsan. Jangan masuk thariqah karena khasiatnya atau karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.

(*Ibj, dikompilasi dari ceramah-ceramah Maulana Habib Luthfi bin Yahya).

Doa sujud

Mintalah diwafatkan dalam keadaan khusnul khotimah

١. اللهم إني أسألك حسن الخاتمة

Allahumma inni as’aluka husnal khotimah

Artinya : “Ya Allah aku meminta kepada-MU husnul khotimah.”

2. Mintalah agar kita diberikan kesempatan taubat sebelum wafat

٢. اللهم ارزقني توبتا نصوحا قبل الموت

Allahummarzuqni taubatan nasuha qoblal maut

Artinya: “Ya Allah berilah aku rezeki taubat nasuha (atau sebenar-benarnya taubat) sebelum wafat.”

3. Mintalah agar hati kita ditetapkan di atas agamaNya.

٣. اللهم يا مقلب القلوب ثبت قلبي على دينك

Allahumma yaa muqollibal quluub tsabbit qolbi ‘ala diinika

Artinya: “Ya Allah wahai sang pembolak balik hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.

Senin, 28 November 2016

MEMBELA HABAIB DAN NU (NAHDLATUL ULAMA)

MEMBELA HABAIB DAN NU (NAHDLATUL ULAMA)

Oleh: KH. Muhajir Madad Salim

A. Membela Habaib

Di sebuah dusun kecil, serombongan habaib muda ('alaihimussalam) sowan kepada seorang kiai sepuh. Dengan nada penuh kegelisahan cucu-cucu Baginda Nabi Saw. yang dimuliakan Tuhan itu berkata, "Kiai, bagaimana NU ini? Semuanya pada berangkat ke jakarta NU malah menahan diri. Malah kabarnya akan kirim Banser untuk Demo tandingan?"

Sesudah menghela nafasnya yang dalam Kiai menjawab, "Yiiik...", begitu biasanya beliau memanggil mereka. 'Antum di dusun ini jangan sekali-kali merendahkan NU nggih? Karena di dusun ini hanya orang-orang NU saja yang mau bershalawat kepada Kanjeng Nabi beserta Ahli Baitnya. Kalau antum memusuhi mereka, saya takut di dusun ini tidak akan ada lagi ada ummat Islam yang bershalawat untuk antum para Ahlul Bait."

Sebuah jawaban tidak terduga, yang sontak membuat para saadah muda itu tertegun. Bahkan tertegun cukup lama .

Kiai meneruskan, "Orang-orang dusun sini, adalah orang-orang awam yang tidak mengerti membalas kebaikan para Ahlul Bait kecuali dengan cara bershalawat untuk mereka. Janganlah antum berbuat sesuatu yang menyebabkan mereka meninggalkan satu-satunya kebaikan yang mereka punya!"

Sebuah kisah nyata, dari sebuah perkampungan kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kita sekalian selama ini. Tetapi begitu mendengar kisah tersebut, saya berfikir ada banyak kata-kata yang mesti diungkapkan untuk dapat tetap "Mbelani NU" dan sekaligus tetap "Memuliakan Habaib".

Ketua Umum PBNU Kiai Said Aqil Siraj menyatakan bahwa memuliakan para habaib itu bagi kaum Nahdliyin adalah sebuah keyakinan agama mereka. Tetapi jauh sebelum Kiai Said berkata seperti itu, salah satu ulama kebanggaan kaum Nahdliyin yang merupakann mahaguru para kiai Jawa yang mayoritas kaum Nahdliyin banyak berhutang ilmu kepada beliau, yakni Syaikhul Haramain Syaikh Nawawi Banten, berkata dalam kitab kecil beliau Qami’ ath-Thughyan: “ …bahwa patut bagi setiap Muslim untuk berkeyakinan apa yang dilakukan oleh para Ahli Bait, Allah telah menganpuni mereka. Tidak boleh bagi kita merendahkan seseorang, terlebih merendahkan para Ahli Bait."

Mari berbicara tentang kemuliaan. Kemuliaan derajat seorang Muslim itu bisa disebabkan oleh banyak hal. Yang paling mudah menyebutkannya adalah kemuliaan karena "ketaqwaan". Jika seorang Muslim hidupnya penuh dengan ketaqwaan, maka dia akan mulia disisi Allah Ta’ala.

Selain ketaqwaan, ada juga sebab yang lainnya yaitu "kedekatan". Maksud kedekatan ini adalah kedekatan Muhammadiyyah. Seorang Muslim jika mempunyai kedekatan dengan Baginda Nabi Saw., maka dia akan mulia disisi Allah dibanding yang tidak.

Para sahabat Rasulullah Saw. memperoleh kemuliaan itu karena sebab ini. Mereka hidup sebagai sahabat Nabi, hidup bersama Nabi, ada dalam satu zaman dengan Nabi. Maka dikatakan: "Sebaik-baiknya tabi’in (setaqwa-taqwanya para tabi’in) tidak akan dapat mengungguli kemuliaan dari serendah-rendahnya seorang sahabat Nabi." Sebaik-baiknya tabi’in itu contohnya seperti Sayyidina Said bin Musayyib, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz, Sayyidina Hasan al-Bashri, Sayyidina Abi Hanifah dan masih banyak yang lain. Mereka semua tingkat ketaqwaannya sudah sebegitu tingginya setaraf “Dewa”. Tetapi di sisi Allah mereka tidak mampu mengungguli kemuliaan golongan terendah dari para sahabat seperti Sayyidina Wahsyi.

Sayyidina Wahsyi ini sahabat Nabi Saw. Tetapi beliau adalah shahabiy yang tingkat ketaqwaannya ada pada level terendahnya. Selain ada “bayang-bayang” kelam dirinya yang sebelum Islam telah membunuh Sayyidina Hamzah, seorang paman yang sangat dicintai Baginda Nabi, beliau Sayyidina Wahsyi ini selama hidupnya tenggelam dalam pengaruh buruk alkohol. Bahkan beliau meninggal dunia dalam keadaan dihukum cambuk karena kebiasaan buruknya itu.

Meskipun demikian, sebagai seorang sahabat sebagaimana sahabat-sahabat Nabi yang lainnya, beliau itu "maghfurun lahum", orang-orang yang dosa-dosanya diampuni oleh Allah Ta’ala.

Jika diukur dengan ketaqwaan, para Sayyidut Tabi’in itu jauh mengungguli Sayyidina Wahsyi. Tidak selevel. Namun di akhirat, kedudukan Sayyidina Wahsyi lebih tinggi disisi Allah dibanding mereka. Bukan karena ketaqwaan Wahsyi mendapatkan keunggulannya itu, tetapi beliau mendapatkan keutamaannya karena sebab kedekatan Muhammadiyyahnya (keshahabiyannya).

Mulia karena dekat dengan seorang yang mulia, yakni Baginda Nabi al-Mushthafa. Dalam hal-hal serupa ini para ulama menerangkannya dalam sebuah analog ini:

"Seorang pelayan yang memijit tubuh seorang Raja, dia dimuliakan sehingga berdiri di tempat yang lebih tinggi dibanding para Mentri. Mereka para mentri duduk di bawah, sementara pelayan tersebut tempatnya di atas di samping Raja. Bukan berarti pelayan dimuliakan karena kepandaiannya sebagaimana para mentri. Para mentri jauh lebih pandai dan jauh lebih memahami dan berkhidmat kepada urusan rakyat dibanding dirinya. Tetapi pelayan itu dimuliakan tempatnya karena kedekatannya dengan Raja saja."

Para pemerhati sejarah Islam akan dengan mudah menempatkan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sebagai slah satu tokoh protagonis. Lalu dalam banyak hal mereka akan mudah menempatkan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai tokoh antagonisnya.

Tetapi mereka akan terkesima jika menyimak apa keyakinan Sayyidina Umar bin Abdul Aziz sendiri dalam hal ini. Suatu saat, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz ditanya seseorang, "Siapakah yang lebih mulia, diri Tuan ataukah Muawiyah?"

Dengan nada kesal beliau menjawab, "Sungguh, seonggok debu yang masuk di dalam rongga hidung kuda yang ditunggangi Muawiyyah saat dirinya berjihad di samping Rasulullah Saw. itu, jauh lebih mulia dibanding Umar bin Abdul Aziz!"

Kemuliaan Sayyidina Muawiyah tersebut bukan dari sebab ketaqwaannya, tetapi sebab kedekatan Muhammadiyyah yang dimilikinya. Sehingga seorang yang telah paripurna ketaqwaannya seperti Umar bin Abdul Aziz pun tidak dapat melampauinya.

Sampai di sini, sudah dapat ditarik natijah bahwa "ketaqwaan" itu tidak satu-satunya mizan/parameter kemuliaan seorang Muslim disisi Allah Ta’ala. Tetapi masih ada sebab yang lain yang dapat membuat seorang Muslim mulia disisi Allah, yaitu sebab "Anshoriyyah Nabawiyyah". Seseorang yang mempunyai unsur-unsur genetik Rasulullah, yang dalam dirinya mengalir darah dan daging Rasulullah Saw., yakni mereka adalah para anak-cucu Rasulullah. Mereka semua akan dimuliakan di sisi Allah Ta’ala karenanya. Kemuliaan yang Allah berikan melalui ayat Tath-hir (QS. al-Ahzab ayat 33):

ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

Kemuliaan yang membuat semua anak cucu keturunan Nabi Saw. adalah "maghfurun lahum", orang-orang yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah Ta’ala persis kemuliaan serupa yang dimiliki oleh golongan shahabiy. Orang yang shaleh dari mereka ataupun orang yang thaleh (jahat) dari mereka, semuanya oleh Allah akan diampuni. Mereka diampuni bukan karena ketqwaan/amal mereka. Tetapi ampunan itu mereka dapatkan murni "pemberian" Allah belaka.

Berkata Syaikh an-Nabhaniy dalam sebuah kitabnya: "…Para Syarif itu termasuk juga sebagai anak cucu Sayyidah Fathimah, Radhiyallahu 'anhum, mereka semua sampai hari kiamat mendapatkan anugerah hukum ayat ini (yakni) mendapatkan ampunan Tuhan. Mereka adalah orang-orang yang disucikan (almuthahharun) yang khusus mereka terima dari Allah sebagai sebuah inayah untuk mereka dikarenakan (maziyyah) kemuliaan Baginda Nabi Muhammad Saw. Kekhususan ini juga merupakan inayah Allah untuk Baginda Nabi Muhammad Saw. pula."

Sampai di sini, natijah tersebut semakin menguat bahwa ketaqwaan bukan satu-satunya ukuran kemuliaan seseorang. Karena kedekatan zaman (seperti yang dimiliki oleh para Sahabat) dan kedekatan jasad (seperti yang dimiliki oleh para Ahlul Bait) juga dapat menjadi sebab sebuah kemuliaan disisi Tuhan.

Hal sedemikian ini yang mendasari pernyataan Kiai Said Aqil Siraj dan mahaguru para kiai Jawa, Syaikh Nawawi al-Bantani, tentang kedudukan Ahlul Bait di awal tulisan ini. Orang-orang NU yang mempunyai kecintaan kelas “Dewa” kepada para habaib ternyata bukan akal-akalan atau emosionalisme mereka belaka. Ternyata mereka mempunyai imam panutannya, dalam masalah ini yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani .

Sehingga tidak perlu terjadi sesungguhnya, beberapa pemuda Nahdliyin dengan gaya ala Koboy menantang-nantang duel ala carok dengan para habaib. Jika belum dapat menghormati para sayyid, semestinya mereka menghormati keyakinan kiai-kiai mereka atau syaikh-syaikh mereka seperti Syaikh Nawawi ini.

Hanya saja saya memaklumi perbuatannya itu, karena saya husnudzan mereka melakukannya atas dasar ketidaktahuan mereka akan Rutbah (kedudukan tinggi) para Sayyid. Namanya saja tidak tahu, maklumi saja. Jikalau mereka sudah mengetahui, mereka tidak mungkin melakukannya.

Atau bisa saja mereka mengenal Rutbah para Sayyid itu dengan bahasa, ajaran serta stigma-stigma yang salah yang diajarkan oleh orang-orang “terpelajar” di sekitar mereka. Sehingga keyakinan yang tertanam dalam diri mereka berbeda dengan keyakinan ala Qami’ ath-Thughyan-nya Syaikh Nawawi Banten 

Tulisan berikut adalah bagian tentang yang ketidaktahuan/kesalahtahuan tersebut. Karena di bagian ini harus menjelentrehkant entang kewajiban membela NU-nya. Dan pengetahuan yang komprehensif atas serba-serbi kemuliaan seperti di atas akan menjauhkan seseorang bersikap berlebihan dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap perbuatan "oknum-oknum" dari para Sayyid yang dianggapnya keliru/jahat.

B. Membela NU

Sebagaimana membela Habaib itu diniati menjalankan perintah agama yaitu membela dan mencintai para Ahlul Bait Baginda Nabi, maka membela NU juga kudu diniati untuk membela para Ulama para pewaris Nabi. Ini perintah agama juga.

Ulama sebagai salah satu bentuk Sya’airillah (tanda-tanda kemuliaan Allah) di muka bumi, maka menghormatinya hukumnya wajib. Bahkan dihitung sebagai amal terbaik, ketaqwaan terbaik. Jika demikian, membela, memuliakan rumah-rumah para ahli ilmu ini seperti Nahdlatul Ulama, sama halnya memuliakan penghuninya yakni mereka para ulama. Tidak akan mengingkari hal-hal seperti ini kecuali orang-orang yang benar-benar tertutup mata hatinya.

Menghormati ulama bahkan tidak mesti melihat keshalehan atau tidaknya sang ulama itu sendiri. Disebabkan ilmu-ilmu yang ada dalam otak mereka, yang tersimpan di dalam dada mereka, adalah makhluk-makhluk Tuhan yang dzatiyahnya sudah mulia dan patut untuk dihormati .

Hal ini ditekankan betul oleh guru-guru kita, agar para pencari ilmu mesti memahami hakekat kemuliaan ilmu. Dia (ilmu itu sendiri) adalah mahluk yang mulia, dan manusia yang di dalam dirinya membawa ilmu-ilmu menjadi mulia karenanya. Jika manusia yang berilmu itu dapat mengamalkan ilmu-ilmunya, maka ini adalah "mulia di atas mulia".

Habib Salim bin Abdullah asy-Syathiriy pernah berkata, "Seorang alim seyogyanya dihormati meskipun engkau lihat dia tidak mengamalkan sendiri ilmunya, atau meskipun engkau lihat dia kurang mengamalkannya. Penghormatan ini dilakukan untuk menghormati ilmunya, yang mana ilmu itu sendiri adalah sesuatu yang mulia. Dalam Nadzam Zubad dikatakan:

العلم اسنى سـائر الاعمال ÷ وهو دليل الخير والافضـال

"Dari sekalian amal, ilmu adalah yang terbaik. Dan ilmu itu pertanda sebuah kebaikan dan keutamaan." Seorang shalihin berkata:

انظر لعلمى ولا تنظر الى عملى ÷ ينفعك علمى ولا يضرّك تقصيرى
ان العلوم كالاشجر على ثمر ÷ فشلّ الثمـار وخلّ العود للنار

"Lihatlah ilmuku, jangan lihat amalku. Niscaya ilmuku akan bermanfaat untukmu dan kekuranganku tidak akan merugikanmu. Sungguh ilmu-ilmu itu laksana pepohonan yang berbuah. Ambil buahnya dan biarkan kayunya terbakar di perapian." Sebuah syair dikatakan:

خذ العلوم ولا تنظر لقائلها ÷ حيث كانت فان العلم ممدوح
كمثل جوهرة وسط مزبلة ÷ اليت تأخذهـا والزبل مطروح ؟

"Ambil saja banyak ilmu bagaimanapun keadaannya, jangan perdulikan siapa yang menyampaikannya. Sesungguhnya ilmu itu sendiri sesuatu yang terpuji. Bagaikan mutiara yang terjatuh di kubangan kotoran. Bukankah engkau tetap ambil mutiaranya, sementara kotorannya engkau buang?" Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. bersabda:

الحكمة ضـالّة المؤمن يأخذهـا اينمـا وجدهـا

"Hikmah itu (laksana) harta yang hilang milik seorang mukmin, dimanapun ditemukan, diambillah ia."

Mutiara nasihat Habib Salim tersebut sudah cukup mewakili sebagai landasan untuk siapapun supaya tetap menghormati para ulama meskipun dalam beberapa hal mungkin tidak dalam satu pendapat yang sama atau dalam satu gerakan yang sama.

Tidak patut bagi seorang yang terpelajar, secara terbuka menyudutkan dan merendahkan seorang ulama. Meskipun di dalam pandangan matanya ulama tersebut ia anggap bukan ulama yang baik. Beberapa waktu lalu, sangat disayangkan terjadi seorang terpelajar memperolok Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) melalui medsos miliknya, dengan bahasa yang jauh dari sopan santun.

Bukankah beliau adalah seorang ulama, bahkan salah satu pimpinan yang disepuhkan dalam Nahdlatul Ulama? Jika tidak ingin menghormati dirinya Gus Mus, bukankah mesti menghormati keulamaannya? Bahkan menghormati institusi besar yang ada dibelakangnya?

Kesimpulan yang paling sederhana dari uraian-uraian ini adalah: "Menjadi seorang Muhibbin harus tetap dapat memuliakan Ulama, menghormati Nahdlatul Ulama. Menjadi Nahdliyyin harus selalu memuliakan dan menghormati para Habaib."

Apalagi NU itu mengikat secara emosional ke dalam jiwa banyak orang. Sejarah panjang hidupnya, hidup orangtua serta kakek-kakeknya bersinggungan langsung dengannya. NU sudah menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Sehingga jika dimuliakan, rasanya seperti kehidupan dirinya yang dimuliakan. Sebaliknya jika direndahkan, rasa-rasanya seperti dirinyalah yang direndahkan. Sebuah ikatan emosional dan sentimental.

Nahdlatul Ulama bagi banyak orang (termasuk saya) adalah bagaikan benda keramat warisan keluarga. Warisan orang-orang tua terdahulu. NU itu laksana kanz/gudang kemuliaan yang banyak orang seperti saya berhutang banyak dengan "harta-harta" yang tersimpan didalamnya.

Saya ingat nasihat yang selalu diulang-ulang oleh salah satu Syaikh saya, KH. Aniq Muhammadun, "Hendaklah kalian sepulangnya dari belajar di pesantren, saat sudah berkecimpung di tengah-tengah masyarakat agar ikut memikirkan Aswaja melalui wadah Nahdlatul Ulama. Jamiyyah ini didirikan dengan penuh ketulusan oleh Kiai-kiai terdahulu, dan sampai sekarang terhitung yang masih memegang teguh ajaran-ajaran ulama salafus shalih terdahulu..."

Pesan-pesan semacam itulah yang membuat NU bagi banyak kalangan, terutama bagi para santri pesantren, melebur menjadi bagian kehidupan mereka. Mereka senantiasa mengingat-ingat janji Hadhratus Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari: "Siapa yang mau ikut mengurusi NU, saya doakan ia masuk surga."

Soal perbedaan sikap antara NU dengan banyak kalangan habaib dalam kasus "Bela Agama" selama ini, menurut saya masuk di dalam tataran Ijtihadiyyah mereka masing-masing. Saya sangat yakin keduanya sama-sama membela agama, tetapi hasil ijtihad mereka membuat yang terlihat adalah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang seperti tampak bertentangan di antara keduanya, dan sudah sedari dahulu perbedaan di antara ulama itu biasa.

Tetapi sikap NU yang berbeda itu jangan dijadikan jalan untuk merendahkan ulama dan institusinya. Perbedaan jika masih dalam satu koridor yang sama, aqidahnya masih sama, rujukan serta manhajnya masih sama, maka sikap yang diambil di dalam mengutarakan perbedaan tersebut adalah dalam bentuknya yang konstruktif dengan bahasa-bahasa yang santun serta tetap saling menta'dzimi antara satu dengan lainnya.

Jika diamati dengan rasa penuh inshaf (terbuka), dapat dilihat bahwa di sisi para habaib dan di sisi lain para kiai NU kedua-duanya masih; "Sama-sama Asy’ariyyin-Maturidiyyin. Sama-sama Syafi’iyyin. Sama-sama Shufiyyin Ghozaliyyin. Dan masih seabrek kesamaan-kesamaan yang lain".

Kalau benar begitu, mengapa harus ada rendah-merendahkan satu dengan yang lain? Tentu yang seperti ini tidak diharapkan terjadi.

Anak-anak muda Nahdliyin haram hukumnya merendahkan para jamaah yang berangkat berdemo menyertai habaib mereka. Sementara para Muhibbin tidak sepatutnya menyudutkan atau merendahkan kaum Nahdliyin yang menahan dirinya tidak turut berdemo ke jalan sebagaimana mereka. Bukankah masing-masing mengikuti "perintah" pemimpinnya?

Para Muhibbin bergerak dengan komando pemimpinnya, yakni para habaib. Para Nahdliyin menahan diri juga atas perintah pemimpin mereka, yakni para Kiai. Dan Habaib serta Kiai sama-sama wajib dihormati. Keduanya mempunyai landasan terhadap manhaj gerakan yang dipilih.

Boleh sekadar mengadu hujjah/dalil mereka, tetapi tidak sepatutnya saling merendahkan lawan hujjahnya. Syukur jika dapat ditarik satu kesimpulan yang sama, atau dicari solusi jalan tengahnya. Jika tidak dapat dijami’kan, maka tetap menghormati pilihannya masing-masing.

http://pustakamuhibbin.blogspot.co.id/2016/11/membela-habaib-dan-nu-nahdlatul-ulama.html

Rabu, 23 November 2016

Tausiah Habib Munzir Almusawa

.Dalam Shahih Muslim Rasulullah SAW bersabda : Bahwa tabir yang menutupi Allah itu adalah tabir cahaya , kalau Allah membuka tabir itu saat ini maka terbakarlah seluruh alam semesta daripada keagungan dan kewibawaan Allah , hancur lebur alam semesta ini daripada keagungan dan kewibawaan Allah , maka Allah menutupnya dengan tabir cahaya . Manusia di siang hari melihat matahari saja sudah silau , padahal cahaya matahari itu jauh sekali , maka bagaimana dengan tabir cahaya ciptaan Allah yang menutup keagungan keindahan dan kewibawaan Allah agar tidak terlihat oleh alam semesta , dan itu akan dilihat oleh orang-orang yang diizinkan oleh Allah di yaumul qiyamah , siapa mereka ? diantaranya :
.
رَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
” Seseorang yang ketika mengingat Allah , mengalirlah air matanya ” .
.
Orang –orang seperti itu akan Allah beri kesempatan kepada mereka untuk memandang keindahan ZatNya
Wallahua'lam Bisshawab
.
Tausiah Habib Munzir Almusawa

NASIHAT HABIB LUTHFI BIN YAHYA TENTANG JODOH DAN PERNIKAHAN

NASIHAT HABIB LUTHFI BIN YAHYA TENTANG JODOH DAN PERNIKAHAN

“Rahmat turun karena sebab ikhtiar. Contoh: sakinah, mawaddah dan rahmah akan muncul jika seseorang sudah ikhtiar untuk menikah.” (Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya).

Yang Allah Swt. perintahkan kepada kita itu adalah memilih suami yang shaleh atau istri yang shalehah. Sebisa mungkin, taatilah perintah tersebut tanpa berpikir sampai kapan jodoh kita itu bertahan. Banyak sekali kriteria yang dipilih seseorang (misalkan kecantikan, kegantengan, pangkat harta, dll.) tapi pilihlah pasangan yang memiliki kualitas bagus dalam hal ibadah dan akhlak. Sedangkan masalah harta itu nomor tiga. Rasulullah Saw. menjamin kalau seseorang mendahulukan hal demikian, kelak kehidupan suami akan mudah, ringan, lapang dan tanpa beban (Fadzfar bidzatiddin taribat yadaka).

Perlu diketahui, rahmat Allah Swt. itu tidak akan datang tanpa usaha dari anggota keluarga dan keshalehan anggota lah yang diperlukan dalam mangarungi gelombang kehidupan rumah tangga. Sedangkan aktifitas lainnya (semisal seks) itu hanyalah sarana pelengkap saja. Jadi keshalehan para anggota keluargalah yang dibutuhkan dalam mengarungi gelombang kehidupan.

Syarat utama dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah itu adalah seorang suami sudah siap menjadi bapak sebelum menjadi bapak, sedangkan istri sudah siap menjadi ibu sebelum menjadi ibu. Oleh karena itu, bagi seorang lelaki carilah wanita yang sudah tampak jiwa keibuannya, begitu juga dengan wanita carilah lelaki yang berjiwa kebapakan.

Masalah jodoh itu saya ibaratkan dengan buah. Buah itu akan masak kalau sudah tiba waktunya. Kalau buah belum masak, rasanya akan masam. Dan kalau masam, mungkin buahnya tidak akan termakan. Sebab selain bergetah, buah yang belum masak dapat membuat sakit perut. Jadi menunggu jodoh tiba itu ibarat kita menunggu buah yang akan masak, nanti akan tiba sendiri. Kita tidak boleh berperasangka buruk, misalnya “kok jodohku lambat” tapi kembalikan semuanya pada Allah Swt. Sebab Allah lah yang menentukan jodoh kita. Jodoh yang ditentukan oleh Allah Swt. itu kelak akan datang kepada kita. Allah lah yang mengatur jodoh kita. Kita juga tidak boleh berperasangka buruk dan menyalahkan orang lain. Yang penting, jangan berputus asa memohon kepada Allah (berdoa).

Saya sarankan bagi yang belum menikah, sebaiknya pelajari dulu apa itu pengertian sakinah, mawaddah, dan rahmah. Persiapkan mulai sekarang bagaimana cara menjadi orangtua yang baik. Sebab kelak perilaku anak itu kurang lebihnya akan meniru perilaku orangtuanya. Jangan pontang-panting minta anak shaleh-shalehah setelah jabang bayi lahir. Tapi mintalah mulai sekarang, mintalah secara istiqamah kepada Allah Swt. agar kelak dikasih pasangan yang shaleh-shalehah serta diberikan anak yang shaleh-shalehah pula yang mampu menjawab tantangan bangsa dan negara.

Untuk pemudi, paling penting kriteria calon suami itu; semangat bekerja, bertanggungjawab, tidak meninggalkan shalat 5 waktu, dan mau mendekati ulama dan orang-orang saleh. Insya Allah akan membawa kebaikan baik duniawi maupun ukhrawi. Yang masih single semoga segera mendapat jodoh, yang membawa maslahat dunia dan akhirat.

Sumber: http://www.ibjmart.com/2016/11/nasihat-habib-luthfi-bin-yahya-tentang.html

Selasa, 22 November 2016

KISAH ANJING YANG MARAH KETIKA RASULULLAH DIHINA

KISAH ANJING YANG MARAH KETIKA RASULULLAH DIHINA

Ketika agama, Allah dan Nabi-Nya dihina tentu kita sebagai Muslim akan tidak terima dan bisa jadi marah.
Alam semesta selain manusia saja tidak akan ridha jika agama ini dicela dan itulah adalah fitrah manusia.

Simak kisah berikut yang cukup mencengangkan, kisah seekor anjing yang menyerang seorang penista Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membuat 40.000 orang masuk Islam karena melihat kejadian ini.

ذكر عن جمال الدين إبراهيم بن محمد الطيبى أن بعض أمراء المغل تنصر فحضر عنده جماعة من كبار النصارى والمغل فجعل واحد منهم ينتقص النبي صلى الله عليه وسلم وهناك كلب صيد مربوط فلما أكثر من ذلك وثب عليه الكلب فخمشه فخلصوه منه وقال بعض من حضر هذا بكلامك فى محمد صلى الله عليه وسلم فقال كلا بل هذا الكلب عزيز النفس وآل أشير بيدى فظن أنى أريد أن أضربه ثم عاد إلى ما كان فيه فأطال فوثب الكلب مرة أخرى فقبض على زردمته فقلعها فمات من حينه فأسلم بسبب ذلك نحو اربعين الفا من المغل

Disebutkan dari Jamaluddin Ibrahim bin Muhammad ath Thibi bahwa ada seorang penguasa Mongol yang murtad menjadi nasrani.
Suatu hari sejumlah para pembesar Nasrani dan Mongol berkumpul. Mulailah salah satu dari mereka menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di ruangan itu terdapat anjing pemburu yang terikat.

Tatkala orang tersebut terus-menerus menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba tiba anjing tersebut melompat menerkamnya dan berhasil mencakar cakar wajahnya sebelum akhirnya orang orang yang hadir bisa menyelamatkannya dari cakaran anjing.

Salah seorang hadiri berkata, “Ini karena hinaanmu terhadap Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Ia berkata, “Bukan, Namun anjing itu terlalu peka.
Dia melilihat aku berisyarat dengan tanganku ke arahnya lantas dia mengira bahwa aku akan memukulnya”

Kemudian dia kembali menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan berpanjang kata menghina, tiba tiba anjing tersebut kembali meloncat menerkam dan menggigit kerongkongannya lalu menariknya hingga putus.
Matilah orang tersebut seketika. Kejadian ini menjadi sebab ada kurang lebih 40 ribu orang Mongol masuk Islam.

Perbuatan mencela agama sangat tercela demikian juga terlarang dijadikan bahan candaan untuk membuat tertawa manusia meskipun tidak ada niat melecehkan.

Allah berfirman,

ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab : “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah : “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?”
Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.
[At Taubah : 65-66]

Wallahu A'laam Bis Shawab

Senin, 21 November 2016

RINDU KEINTIMAN SPIRITUAL BERSAMA ALLAH

RINDU KEINTIMAN SPIRITUAL BERSAMA ALLAH
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Ketahuilah bahwa perasaan damai, takut, dan rindu merupakan dampak dari perasaan cinta. Namun, kadar yang dirasakannya tidak permanen, tergantung pada tingkat ketajaman pandangan dan tingkat kepekaan perasaan yang menguasai sang pecinta.

Jika apa yang terjadi pada sang pecinta adalah sebuah penyaksian dari balik tabir hingga mencapai keindahan puncak dan ia merasa tak mampu lagi untuk menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan tersebut, maka hatinya menjadi cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus memburu. Keadaan cemas seperti itulah yang disebut syawq (kerinduan). Sungguh kerinduan adalah sesuatu yang gaib.

Jika ia dikuasi oleh perasaan tentram dan bahagia luar biasa, karena berdekatan (bersama Allah) dan berhasil menyaksikan kehadiran-Nya melalui tersingkapnya tabir antara Dia dan dirinya, lalu pandangannya juga terfokus pada penyaksian keindahan yang hadir terungkap di hadapannya, tanpa menoleh kepada keindahan lain yang belum diketahui, maka hatinya akan diliputi perasaan senang dan gembira. Kegembiraan seperti inilah yang disebut uns (keintiman spiritual).

Lalu, jika pandangannya terfokus pada sifat keagungan dan kemandirian-Nya, sama sekali tak berpaling dari-Nya dan ia khawatir semua yang dirasakannya itu lenyap, menghilang atau menjauh, maka hatinya akan merasa pedih. Perasaan pedih semacam inilah yang disebut khawf (ketakutan).

Jadi, uns (keintiman spiritual) dalam konteks ini adalah kegembiraan dan kebahagiaan hati karena menyaksikan keindahan. Lalu, ketika kegembiraan dan kebahagiaan itu benar-benar telah menguasai, tidak peduli terhadap segala hal yang telah menghilag, juga tidak peduli dengan kekhawatiran akan menghilang, maka kenikmatan yang ia rasakan akan memuncak pada puncak tertingginya (uns).

Suatu ketika Syekh Ibrahim bin Adham turun dari gunung. Seseorang bertanya, “Darimana engkau, ya Syekh?” Lalu beliau menjawab, “Dari bersenang-senang (uns) dengan Allah.” Bersenang-senang dengan Allah menyebabkan dia merasa tidak membutuhkan kepada selain Allah. Bahkan, semua bentuk kendala yang merintangi khalwat menjadi beban di hati.

Diriwayatkan pula bahwa Musa a.s. berbicara dengan Allah SWT, beliau berdiam diri selama beberapa hari. Jika beliau mendengar seseorang berbicara, maka beliau langsung pingsan. Ini tidak mengherankan karena cinta hanya meniscayakan nikmatnya pembicaraan Sang Kekasih, juga nikmatnya berdzikir dan menyebut-Nya. Bagi sepotong hati yang dirasuki cinta, maka tak ada yang terasa nikmat selain Dia semata. Karena itu, seorang bijak berkata dalam alunan doa, “Wahai Dzat yang dengan menyebut-Nya hati jadi damai sentosa! Wahai Dzat yang membuat aku tak merasa butuh kepada makhluk-Nya.”

Rabiah Adhawiyah ditanya, “Dengan apa engkau bisa meraih kedudukan seperti ini?” Beliau menjawab, “Dengan meninggalkan apa yang tidak aku butuhkan dan rasa damaiku bersama Dzat yang tak pernah lenyap.”

--Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mahabbah wa asy-Syawq wa al-Uns wa ar-Ridha

Minggu, 20 November 2016

TAHUKAH KITA?

TAHUKAH KITA?

Bahwa ikan yg ribuan tahun lalu menelan Nabi Yunus As itu ternyata masih hidup sampai sekarang, bahkan sampai hari kiamat. hal ini sdh dijelaskan dalam al-Qur'an: andai Yunus itu tidak beristighfar, tentu ia akan tinggal dalam perut ikan tersebut sampai hari kebangkitan..

*taukah anda*....?
bahwa janin semasa dalam kandungan perut ibunya, dia dilihatkan perjalanan hidupnya mulai dr lahir sampai mati, karena itu, terkadang ketika kita berkunjung ke beberapa tempat yang baru, tp seolah tempat tersebut sudah tidak asing bagi kita.

*taukah anda*.....?
di saat bersin, seluruh anggota tubuh kita berhenti berfungsi, seolah mati, ini terjadi dalam hitungan detik, setelah itu berfungsi normal kembali, inilah kenapa dalam islam di sunnahkan membaca alhamdulillah setelah bersin, sebagai ungkapan syukur atas berfungsinya kembali seluruh anggota badan kita.

*taukah anda*.....?
menguap itu bukan tanda bahwa kita mengantuk, tapi itu adalah pertanda bahwa tubuh kita butuh tambahan oksigen

*taukah anda*......?
bahwa memakan kurma dalam jumlah genap itu akan menghasilkan gula darah, karena itu Rasulullah menganjurkan kita untuk memakannya dalam jumlah ganjil, agar berubah menjadi karbohidrat.

*taukah anda*......?
bahwa tepat setelah dikumandangkannya azan itu adalah waktu yang mustajab untuk berdoa.

*taukah anda*......?
di mana dosa-dosa kita diletakkan ketika kita shalat?
Nabi Muhammad saw bersabda: "sesungguhnya seorang hamba ketika menunaikan shalat, dia membawa serta semua dosa-dosanya, kemudian dosa-dosa itu d taruh di atas kepala dan kedua pundaknya, maka ketika tiap kali ia ruku' atau sujud berjatuhanlah dosa-dosa tersebut".
wahai orang-orang yang biasa tergesa-gesa dalam shalatnya, tenanglah... dan tahanlah lebih lama ruku' dan sujudmu, agar lebih banyak lagi berguguran dosa-dosamu.

*taukah anda*.......?
diceritakan ada seorang wanita soleha yg meninggal, maka tiap kali penduduk desa ziarah kubur, mereka mencium harumnya mawar dr dalam kubur, kemudian suaminya menjelaskan, bahwa istrinya itu semasa hidup selalu membaca surah al-mulk, setiap mau tidur..
sesungguhnya surat al-mulk itu menyelamatkan dari siksa kubur.

*taukah anda*.......?
ketika kita membaca ayat kursi tiap usai shalat, maka tidak ada penghalang antara kita dan surga kecuali maut.

*taukah anda*.......?
bahwa para malaikat mendoakan kita ketika usai shalat, karena itu jangan terburu untuk beranjak dari posisi duduk shalat kita.

semoga bermanfaat

Kamis, 17 November 2016

KITAB KUNING TERUS JALAN, EKONOMI JUGA HARUS DIPIKIR DAN DIKEMBANGKAN

KITAB KUNING TERUS JALAN, EKONOMI JUGA HARUS DIPIKIR DAN DIKEMBANGKAN

Saya malam ini mendapat suatu kekaguman yang luar biasa. Kekaguman tersebut membangkitkan kembali untuk lebih jauh menguak beberapa manaqib atau sejarah dan mutiara-mutiara terpendam yang sudah banyak dilupakan. Sehingga, jangankan kiai yang jauh kiai yang berasal dari daerah sendiri saja banyak yang melupakan bagaimana sejarah perintisan pesantren atau madrasahnya. Sudah sangat jarang yang mau mencatatnya.

Padahal mereka adalah pelaku sejarah. Dimana para santri atau warga wilayah masing-masing jangan sampai kepaten obor (melupakan sejarah; red.). Karena sudah kepaten obor, terutama kita sendiri, sehingga sebagian tidak mau mencatat sejarah. Ujung-ujungnya kalau sudah kepepet baru melakukan ikhtiar tanya sana-sini, Tanya kepada Sarkub (Sarjana Kuburan). Itu akibatnya.

Maka dari itu, adanya haul seperti ini menjadi benteng yang luar biasa. Karena lewat lantaran seperti haul, maulidan, manaqiban, tahlilan, yasinan, nariyahan, dlsb. para ulama bisa memandang santri serta umatnya, umat bisa memandang ulama-kiainya, pejabatnya juga demikian, bisa berkumpul berkumpul bersama. Apabila kekuatan luar biasa tersebut tetap terjaga di Indonesia, itulah bagian dari kekuatan NKRI. Makanya oknum-oknum manusia dengan melihat yang demikian itu akan gatel kupinge (hasud), bagaimana caranya agar bubar dengan segala cara.

Karena di dalam kegiatan maulid atau haul akan membuka riwayat per-riwayat setiap para masyayikh, guru-guru kita semua. Tremas bagian dari pesantren tua. Diantara pondok-pondok pesantren yang ada di Jawa Timur mulai dari Kiai Hasan Besari serta para keturunannnya sangat banyak yang menyebar bukan hanya di Jawa Timur tapi juga Ngroto, Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah.

Dan rata-rata, Subhanallah, dari para muridnya Mbah Dim (KH. Dimyathi Tremas) 95% banyak yang jadi ulama dan wali, termasuk guru saya sendiri yakni Mbah Kiai M. Arsyad Bendokerep Cirebon. Beliau merupakan santri yang lama menimba ilmu dari Mbah Dim, hingga melanjutkan ke Mekkah berguru pada Kiai Mahfudz at-Turmusi (Tremas). Mbah Kiai Abdullah Hadziq Balikambang juga santri yang lama menimba ilmu dari Mbah Kiai Dimyathi Tremas. Para murid yang lainnya antara lain Mbah Kiai Dimyathi Kedawung dan banyak para ulama dari Jawa Barat, Jawa Tengah, lebih-lebih Jawa Timur.

Kita belum tentu bisa seperti itu, kenapa mereka bisa? Sebab, (semisal) Mbah Kiai Abdul Mannan Tremas berpuasa selama 3 tahun yang dihadiahkan untuk diri sendiri, keluarga dan para santrinya agar ilmunya bermanfaat. Kiai Zakaria Surojoyo Sindanglaut berpuasa selama 3 tahun untuk diri sendiri, 3 tahun untuk keluarganya, dan 3 tahun lagi untuk para santrinya. Sehingga wajar jika ilmu para santrinya menjadi bermanfaat. Itu diantara ijtihadnya (usaha kesungguhan/perjuangan) para ulama.

Adanya haul bukan muta’ashibin/bukan untuk menimbulkan kefanatikan yang menimbulkan pecah-belah. Melainkan untuk ibrah, mengambil pelajaran kenapa Mbah Kiai Dimyathi (misalnya) ilmunya bermanfaat, kenapa Kiai Abdul Mannan ilmunya bermanfaat, Kiai Mahfudz at-Turmusi ilmunya bermanfaat, dan melahirkan mutiara-mutiara yang tiada ternilai harganya. Apa sebabnya. Inilah yang perlu kita pelajari. Sehingga pulang dari haul bisa memetik oleh-olehnya, bisa dijadikan obat.

Dan beliau-beliau tidak terlepas dari punya andil besar untuk memperkuat akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Jangan anggap enteng tugasnya para kiai. Perjuangan para auliya itu bukan hanya di jaman Tremas, Lirboyo, Ploso, Bendokerep Cirebon, Buntet atau Babakan Ciwaringin, melainkan keberkahan mereka sejak dari para auliya jaman Wali Songo.

Dan jika saya bercerita, terutama untuk kalangan muda, jangan hanya bisa mantuk-mantuk saja tapi tulis dan catatlah agar tidak kepaten obor. Kita sering membuka buku sejarah, Islam masuk ke Indonesia dari abad ke 1 H., pendapat lain abad ke 2 H. Saat itu merupakan jaman katsratul fitnah, banyak terjadi fitnah yang luar biasa seperti kejadian antara Bani Umayyah dan Bani Abbas. Kekuasaan Bani Umayyah tak tanggung-tanggung hingga Spanyol. Kekuatan yang luar biasa 350 tahun (kemudian) tumbang. Sebab banyak berdiri kerajaan-kerajaan (Islam) seperti di Jawa (Nusantara) ini, Banten tumbang, Palembang tumbang, Aceh tumbang, Demak dan Cirebon pun tumbang. Padahal masing-masing kerajaan membawa bendera Islam dan perjuangan-perjuangan para ulama-ulama luar biasa. Sebabnya apa?

Sesudah (Bani Umayyah) menguasai Spanyol, banyak ulamanya yang didzalimi dan ditahan. Bahkan seperti Sayyidi Syaikh Abu Bakar al-Undulusi dan Abu Madyan al-Maghrabi sampai melarikan diri dari Spanyol hingga Tonjah atau Fes (Maroko) untuk menyelamatkan diri. Dari Tonjah nyala lampunya Spanyol kelihatan. Akhirnya kerajaan Islam di Spanyol pun tumbang.

Umat Islam jaman dulu berhasil menguasai Turki, namun beberapa tahun kemudian kerajaannya pun tumbang. Ulama-ulama tidak pernah putus asa tetap berjuang. Sampai dengan berdirinya kerajaan Malaka ketika diincar dan diserang oleh Portugis tahun 1511 M. Hingga Sultan Abdul Fattah mengirimkan pasukannya yang dipimpin Putra Mahkota Adipati Yunus. Ibunya Adipati Yunus adalah Dewi Asyiqah, putri dari Raden Rahmatullah Sunan Ampel.

Namun mengalami kegagalan karena menghadapi gelombang (laut) yang luar biasa. Sehingga menyebabkan banyak pasukan Demak mati syahid dan kapal-kapalnya sementara berlabuh di Palembang. Di Palembang inilah ada adik dan tempat kelahirannya Raden Fattah dahulu. Yang mana ibu Raden Fattah pernah dihadiahi sebidang tanah di sana oleh Aryo Damar saat sudah masuk Islam. Yang kemudian melahirkan keturunan bernama Raden Husain Pecattondo Kerung, yang semasa kecilnya sudah diikuti oleh Girindra Wardana, seorang yang pernah menaklukkan Brawijaya ke-V  sehingga menyebabkan sang raja melarikan diri ke Gunung Lawu.

Perjuangan tidak pernah berhenti meskipun Malaka mengalami kekalahan jatuh ke tangan Portugis. Alhamdulillah, saat menyerang ke Maluku bisa dibendung oleh Sultan Khaerun, Sultan Zainal Abidin dan Maulana Babullah Ternate (kakak Sunan Gunung Jati) yang kuburannya berada di puncak gunung mengungguli tingginya makam Sunan Muria. Inilah perjuangan para santri terdahulu yang mengikuti para ulama.

Setelah mengalami kegagalan, (ada oknum yang) ngitik-ngitiki (membisiki/adu-domba) Girindra Wardana dengan Raden Fattah sehingga Majapahit yang diduduki Girindra Wardana diserang oleh Raden Fattah. Girindra Wardana pun mengangkat Raden Husain Pecattondo Kerung sebagai senopati, untuk menghadapi kakaknya sendiri (tunggal ibu beda ayah) yakni Sultan Abdul Fattah. Terpaksa mengalami kegagalan dan kemenangan di pihak Raden Fattah. Ini contoh untuk kita semua, untuk diambil pelajaran bagaimana akibatnya jika saudara dibenturkan dengan saudaranya sendiri.

Perang kedua terjadi pada jaman Patih Udara yang mengadakan perjanjian dengan Portugis untuk menyerang Demak. Peperangan ini pun mengalami kegagalan, kemenangan di pihak kerajaan Demak. Hingga tiang-tiang penyangga istana Patih Udara pun dibawa untuk dijadikan tiang Masjid Demak bagian depan.

Kemenangan demi kemenangan dialami, tapi Portugis tidak putus asa untuk mengadu-dombanya dengan Pajajaran. Dikirimlah Maulana Syarif Hidayatullah pada jaman Sultan Trenggono, karena Raden Fattah sudah wafat tahun 1518 M. Sedangkan Sunan Kudus ambil bagian memimpin bagian laut dengan dibantu para tentara Cirebon dan Banten. Padahal waktu itu Banten belum Islam, tapi rasa nasionalismenya luar biasa. Pihak Maulana Syarif Hidayatullah pun mengalami kemengangan, hingga Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang sekarang menjadi Jakarta.

Masa-masa tenang dan menang pun dirasakan, tiba-tiba Sultan Trenggono dibunuh oleh bocah berusia 13 tahun. Seperti dulu dibunuhnya Sayyidina Utsman oleh Abu Lu’lu’, yang di Iran kuburan Abu Lu’lu kuburannya diperbagus. Akhirnya yang terjadi adalah antara anak dengan anak pecah-belah memperebutkan warisan; yang ini ingin jadi ratu dan yang itu ingin menguasai, terjadilah perang saudara. Melihat itu Maulana Syarif Hidayatullah pun mengambil sikap dengan memisahkan diri dari Demak dan membentengi Pantura agar tidak dimasuki Portugis.

Untungnya pada jaman itu masih ada ulama yang bisa mendamaikan seperti Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), Maulana Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) dan Raden Abdurrahman Said (Sunan Kalijaga). Para beliaulah yang saat itu bisa melerai dari pecah-belah ummat dan bangsa. Ini contoh, tugas para santri menjadi perekat. Akhirnya persatuan dan kesatuan tetap terjaga, dan terpilihlah Jaka Tingkir menjadi raja yang pindah ke Pajang.

Masa-masa tenang dan menang pun dirasakan, tiba-tiba muncul Belanda. Dengan VOC-nya menjajah secara halus melalui perdagangan, bukan tentaranya dulu yang masuk. Tanah demi tanah dikuasai dan dibeli (saat itu mereka dalam perlindungan kerajaan). Setelah tanahnya luas ditanamlah rempah-rempah, kemudian mereka diam-diam membuat benteng.

Setelah benteng-benteng Belanda berdiri, Sultan Agung akhirnya tahu dan mengendus adanya bahaya. Belanda kemudian diperingatkan berkali-kali tapi tetap tak berubah dengan pendiriannya. Dikirimlah pasukan Sultan Agung sebanyak 80.000 tapi mengalami kegagalan karena di sekitar benteng itu penuh dengan rawa-rawa penuh bahaya. Mengalami kegagalan hingga dua kali, termasuk diantara yang menjadi pasukan itu adalah pembesar Kota Pekalongan yakni Sayyid Muhammad Abdussalam yang terkenal dengan sebutan Bahurekso dan Kiai Hasan Ki Ageng Cempalo. Banyak lainnya yang turut berjuang dari para kiai dan santri. Berjuang bahu-membahu membela umara’nya, yakni Sultan Agung.

Meski gagal tetap tidak berhenti di tengah jalan dengan terus mengobarkan semangat juang, meningkatkan handarbeni (rasa memiliki) pada bangsa dna tanah air ini. Sehingga muncullah para pejuang tangguh seperti Kiai Hasan Maulani, seorang ulama dan wali Allah dari Slado. Kiai Hasan Maulani itu pernah dibuang ke Manado, Kiai Ahmad Rifai juga dibuang ke sana. Tokoh pejuang lainnya adalah Kiai Hasan Lengkong, Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Sentot Prawiroderjo serta para tokoh ulama lainnya yang tidak pernah lepas ikut andil berjuang untuk bangsa dan ummat ini.

Inilah perjalanan para santri hingga bisa membuat pesantren-pesantren. Karena pesantren merupakan pertahanan yang luar biasa dan kuat. Sehingga muncul oknum-oknum yang ingin mengobok-obok pesantren dengan mengatakan pesantren sebagai sarang teroris. (Padahal) Selama 22 tahun saya belajar di pondok pesantren belum pernah guruku mengajari jadi teroris, belum pernah mengajariku untuk melawan negara. Justeru setiap tanggal 17 Agustus para kiai (merayakannya) dengan cara melabur pagar pesantren dan merapikan dan membersihkan rumput-rumput yang tumbuh liar. Seperti inilah yang ditugaskan para kiai kepada para santrinya (untuk merayakannya).

Maka dari itulah bagaimana caranya menggembosi dunia pesantren karena mereka (para oknum) tahu bahwa pesantrenlah yang menjadi benteng terakhir bangsa ini. Agar pesantren tak dipercaya lagi.

(Dari pesantren lah) bangkit para pejuang yang tak pernha mengenal putus asa, seperti Kiai Muqoyyim Sindanglaut, al-Habib Thoha bin Hasan yang memiliki pasukan Cipeting (pasukan malam) sebanyak 5.000, Kiai Abdullah Babakan Ciwaringin yang pertamakali para santri melakukan perlawanannya terhadap Belanda hingga Belanda memboikot keuangannya yang datang dari Aceh untuk membendung perjuangan para snatri. Inilah Hari Santri, tidak mudah perjuangannya dalam menanamkan cintanya pada bangsa, lebih-lebih terhadap agama dan akidahnya.

Di lain itu muncullah tokoh-tokoh luar biasa, maaf jangan dilihat latar belakang politiknya, seperti Pak Karno, Pak Harto, Agus Salim, Umar Said Cokroaminoto dan Kiai Ahmad Dahlan. Tokoh-tokoh pejuang bangsa yang luar biasa, ada yang melalui jalur pesantren, pendidikan, perdagangan, dlsb. Bagaimana cara menghidupkan al-iqtishadiyah (dunia pertanian), ilmu pengetahuan dan ekonomi, pesantren bukan sekadar melahirkan ahli baca kitab tekstual tapi tahu di dalamnya kitab.

Pesantren harus bisa menjawab tantangan jaman, selain hafidzul Qur’an, muhadditsin dan fuqaha dia juga ahli pertanian, ahli teknologi, ahli elektronik, ahli IT, dokter spesialis kandungan, dokter spesialias pankreas, dlsb. Bisa menjawab dan menjabarkan keuniversalan al-Quran dan apa yang ada di dalam al-Quran.

Santri tidak cukup hanya bertasbih dan tadarrus saja, tapi mampu menjadi tokoh pendidikan, tokoh pertanian, tokoh ekonomi, sebagaimana dirintis oleh Wali Songo dimana mereka mampu hidup berdampingan dengan yang berlainan agama. Jaman Pajajaran, jaman Majapahit, malah bisa membangun income hingga mendapatkan kepercayaan yang luar biasa.

Bukan membangun khilafiyah. Negara lain sudah maju dalam dunia elektro, IT, kedokteran, pendidikan, pertanian, perdagangan, sampai pesawat tempur dan persenjataan. Kita ketinggalan demi ketinggalan, yang ramai hanya bertengkar dan rebut terus. Pertanyaannya, sampai kapan hai santri Tremas, santri Lirboyo, santri Ploso, dan santri-santri yang lain? Bukan menumbuhkan ashabiyah-ta’ashub (fanatisme). Akhirnya kesempatan yang demikian (saat datang fanatik), masuklah oknum-oknum manusia untuk membenturkan sesama kita. Untungnya para santri dibegitukan tidak mempan. Alhamdulillah. Ini kritikan, bukan pujian.

Kapan kita akan bisa menjawab ini? Dan pertanyaan yang lebih jauh, sampai kapan kita bisa mengisi kemerdekaan ini? Para kiai dulu sudah banyak ikut andil dalam perjuangan tahun 45, 47 dan saat Belanda masuk lagi melalui sekutu. Para kiai masih bahu-membahu bersama tentara saling cancut taliwondo, seperti Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah, dll., ternyata kita ditikam dari belakang pada peristiwa tahun 48. Melek! Sadar! Alhamdulillah lolos, sampai tahun 65.

Tanya pada diri kita sendiri, kita sudah ikut mengisi dan andil apa dalam mengisi kemerdekaan ini? Kita sudah ikut andil apa pada peninggalannya para kiai untuk meneruskan perjuangannya? Tarik lagi ke atas, sudah ikut andil apa pada peninggalannya para Wali Songo? Tarik lebih jauh lagi, sudah ikut andil apa ngisi peninggalannya Kanjeng Nabi Saw.? Jangan sampai kita jadi santri yang membuat malu kedua orangtua, para guru, para sesepuhnya dan Nabi Saw. di hadapan Allah Swt. Mestinya dipersiapkan. Disamping agamanya kuat, akidahnya kuat, tapi bisa melahirkan dan menjawab tantangan ummat dan bangsa.

Kitab tetap berjalan, ekonominya lancar. Nasibnya dari sisi ekonomi selalu mundur dan mundur, mau mauju bagaimana? Jika ada pengajian, mauludan, tetap saja model proposal tidak ada berhentinya. Sudah jadi budaya. Sampai kapan sebetulnya proposal-proposal (yang demikian)? Ini kritikan. Mestinya kita harus berubah. Partisipasi kita tingkatkan untuk membangun ekonomi, membangun dunia pertanian. Apa dikira dalam al-Quran tidak ada?

Sunan Kudus itu luar biasa, seorang ekonom (disamping ulama besar). Buahnya sampai sekarang Kudus luar biasa ekonominya. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Kanjeng Sunan Kudus. Sunan Derajat, ahli pertanian dan ahli ekonom disamping ulama besar. Kanjeng Sunan Bonang, gurunya para raja, para ulama, para wali, para senopati dan para pejabat kerajaan pada waktu itu. Diikuti dan ditaati karena beliau punya pendirian, orang hebat, tidak mudah ditarik kesana-kemari. (Mampu) menjadi bapak ummat dan bapak bangsa. Sunan Gunung Jati adalah seorang ahli strategi disamping ulama besar.

Semoga dengan adanya Haul Mbah Dimyathi dan Masyayikh Ponpes Tremas, bisa mencetak ummat, santri dan para murid yang bisa menjawab tantangan ummat dan bangsa serta tidak memalukan para orangtua, guru dan pendahulu kita. Amin.

Ditranskrip dan dialihbahasakan dari ceramah Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya pada acara Haul Masyayikh Ponpes Tremas di Pekalongan 2016.

Selasa, 15 November 2016

Mata Alloh

GUS DUR & MATA ALLAH

TANPA didampingi siapa pun, Gus Dur dan aku bertemu di warung nasi depan kampusku. Pakaian batik dan sarung membungkus tubuhnya, peci yang miring serta kacamata tebalnya melengkapi kediriannya. Dialog yang bagiku aneh pun terjadi. Aneh karena perbincangan kami kesana kemari, tak jelas arahnya.

Gus Dur :
"Sebenar apa pun tingkahmu, sebaik apapun prilaku hidupmu, kebencian dari manusia itu pasti ada. Jadi jangan terlalu diambil pusing. Terus saja jalan.!"

Mughni :
"Iya, Gus. Tapi.."

Gus Dur :
"Bagaimana tidak repot, hidupmu terlalu banyak 'tapi'.!"

Mughni :
"Hehehehe.."

Gus Dur :
"Apa kamu kenal Wa Totoh? Maksud saya KH. Totoh Ghozali."

Mughni :
"Disebut kenal ya tidak, tapi saya sering mendengar ceramah-ceramahnya di Radio."

Gus Dur :
"Belajarlah kamu kepadanya, bagaimana memurnikan tauhid masyarakat. Dia menggunakan bahasa lokal sebagai senjatanya, memakai humor cerdas tanpa hina dan caci."

Mughni :
"Baik, Gus, kalau itu perintah Panjenengan."

Gus Dur :
"Ini bukan perintah, ini memang sesuatu yang seharusnya kamu lakukan sebagai Da'I."

Mughni :
"Laksanakan."

Gus Dur :
"Kamu suka menulis?"

Mughni :
"Tidak, Gus, tulisan saya buruk sekali. Saya coba menulis puisi atau cerita pendek, tapi benar-benar buruk hasilnya."

Gus Dur :
"Rupanya kamu belum pernah dilukai seorang wanita, makanya tulisan kamu tidak bagus."

Mughni :
"Lha, Panjenengan tau darimana kalau saya belum pernah dilukai wanita?"

Gus Dur :
"Ya itu tadi, karya sastramu buruk sekali."

Mughni :
"Hmmmmm.."

Gus Dur :
"Kamu pernah pesantren?"

Mughni :
"Pernah, Gus."

Gus Dur :
"Dimana?"

Mughni :
"Di Al-Falah sama di Al-Musaddadiyah."

Gus Dur :
"Rupanya kamu Santri Kyai Syahid sama Kyai Musaddad."

Mughni :
"Iya."

Gus Dur :
"Saya juga sering bersilaturahmi ke beliau-beliau itu. Mereka salah satu penjaga Islam Ahlussunnah wal Jama'ah."

Mughni :
"Ketika jadi Santri, saya nakal sekali. Saya merasa malu kepada beliau-beliau itu, Gus."

Gus Dur :
"Saya beritahu kamu, kebaikan seorang Santri tidak dilihat ketika dia berada di Pondok,  melainkan setelah dia menjadi alumni. Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik."

Mughni :
"Terima kasih, Gus."

Gus Dur :
"Dunia tanpa pesantren, bagi saya adalah siksa. Bersyukurlah karena kamu pernah menjadi bagian di dalamnya."

Mughni :
"Iya, Gus."

Gus Dur :
"Kamu mau tau rahasia hidup saya dalam memandang segala sesuatunya?"

Mughni :
"Tentu, Gus, saya ingin tau rahasia panjenengan."

Gus Dur :
"Dalam memandang segala sesuatu, gunakanlah 'mata' Allah."

Mughni :
"Waduh. Bagaimana contohnya?"

Gus Dur :
"Contohnya begini. Ketika saya didatangi banyak orang yang meminta perlindungan, apakah orang itu benar atau salah, saya terima semuanya dengan lapang dada. Karena apa? Saya selalu yakin, Allah lah yang menggerakan hati mereka untuk datang kepada saya. Jika saya tolak karena mereka bersalah, itu sama saja saya menolak kehendak Allah. Perlindungan saya kepada orang-orang yang disudutkan karena kesalahannya itu, bukanlah bentuk bahwa saya melindungi kesalahannya, tapi saya melindungi kemanusiaannya."

Mughni :
"Duh.."

Gus Dur :
"Lebih jauhnya begini. Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa membaca al-Qur'an, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi al-Qur'an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda Agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian bahwa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah."

Mughni :
"Ya Allah.."

(Haul Gus Dur yang ke-6)

.
.
Dicuplik dari tausiyah Guru Niam Muiz

Senin, 14 November 2016

HADIS QUDSI PEMBERSIH JIWA

HADIS QUDSI PEMBERSIH JIWA
Abu Dzar Al-Ghifari r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa Allah SWT Berfirman:

يَا عِبَادِيْ إِنِيْ حَرَّمَتْ الظُلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَاتَظَالَمُوْا
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan Aku jadikan kezhaliman di antara kalian sebagai sesuati yang diharamkan, maka janganlah kalian saling berbuat zhalim.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan tersesat kecuali orang yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku, niscaya Aku akan beri kalian hidayah.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أُطْعِمْكُمْ
“ Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua lapar, kecuali orang yang telah aku beri mareka makan, maka mintalah makan kepada-Ku, Niscaya Aku akan beri kalian makan.”

يَاعِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ أُكْسِكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua telanjang, kecuali orang yang telah aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya aku akan beri kamu pakaian.”

يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian melakukan kesalahan pada siang dan malam hari, sedangkan saya lah yang mengampuni semua dosa, maka minta ampunlah kepada-Ku, Saya akan ampuni kalian.”

يَاعِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضَرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu melakukan kemudharatan yang bisa memberikan kemudharat kepada-Ku, dan sekali-kali kalian tidak akan mampu melakukan manfaat yang bisa memberikan manfaat kepada-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ و آخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كاَنُوْا عَلَى اْتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا
“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling taqwa, maka hal itu tidak akan menambah (keagungan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَر قَلْب رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مُكْلِيْ شَيْئَا
“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya memiliki (hati sebagaimana) hati orang yang paling durhaka, maka hal itu tidak akan mengurangi (kemuliaan) sedikitpun di dalam kerajaan-Ku.”

يَاعِبَادِيْ لَوْ أَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَ إِنْسَكُمْ وَ جِنَّكُمْ قَامُوْا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسْأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُهُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْأَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ المَخِيْطُ إذَا أُدْخلَ البَحْرَ
“Wahai hamba-hamba-Ku, jikalau kalian yang terdahulu dan yang terakhir dari manusia dan jin semuanya berada di suatu lapangan, kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang sesuai dengan permintaannya, maka hal itu tidak akan mengurangi (sedikit pun) kekayaan yang ada pada-Ku, kecuali seperti halnya air yang menempel pada sebuah jarum ketika jarum tersebut dimasukkan ke dalam lautan.”

يَا عِبَادِيْ إنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمِدْ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya amal kalian itulah yang akan Aku hisab, kemudian Aku memberi balasannya secara sempurna. Maka barang siapa menemukan balasan yang baik, hendaknya dia memuji Allah; dan barang siapa menemukan balasan yang buruk, maka janganlah sekali-kali mencela, kecuali terhadap dirinya sendiri.”

---Dikutip dari Kitab Nasha’ihul ‘Ibad karya Imam Nawawi Al-Bantani

Sabtu, 12 November 2016

maqamatil khauf warraja’

MENYELAMI KEHENDAK (AL-IRADAH) MANUSIA

Al-Iradah (kehendak) itu harus dikembalikan dahulu yang pertama kepada niat. Niat dikembalikan kepada ilmu. Punya niat baik, punya kehendak baik, tapi tidak mempunyai ilmu juga sulit. Mempunyai ilmu, mempunyai kehendak dan mempunyai niat yang baik tapi tidak didasari khaufun billah (takut kepada Allah), juga susah. Khauf (takut) kepada Allah Swt. bukan karena nerakaNya. Cinta kepada Allah bukan karena surgaNya. Tapi cinta kepada yang menciptakan surga dan neraka lebih besar daripada cinta kepada surgaNya atau takutnya pada neraka. Itu diantaranya khauf.

Dan khauf ini harus selalu kita gandeng. Sebab khauf tanpa ilmu, maksudnya khauf jarang juga orang yang mengetahuinya. Tapi kalau khauf mempunyai ilmu, berbeda. Karena kaitannya khauf juga tidak terlepas dari:

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَاَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah melihatNya, jika tak mampu demikian maka pasti Dia melihatmu.”

Merasa bersembah sujud, menyembah sujud kepada Allah Swt. Kalau toh tidak mampu karena ini kelas berat merasa setiap harinya dilihat oleh Allah Swt. Dari mulai kehendak kita, kemauan kita, dlsb. tidak terlepas dari pandangan Allah Swt. Bilamana khauf ini tumbuh maka akan memperbaiki kehidupan manusia itu sendiri karena takutnya kepada Allah Swt. Tapi khauf harus digandeng selalu dengan raja’. Selalu yang mengharapkan tidak pernah lepas, tidak satu pun yang diharapkan dan dikehendaki terkecuali:

إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ

“Hanyalah kepadaMu ya Allah kami mengharap.”

Kalau setiap insan mukmin bisa mengamalkan إِلَهِيْ أَنْتَ مَقْصُوْدِيْ وَرِضَاكَ مَطْلُوْبِيْ (raja’ selalu kepada Allah Swt.), saya kira tidak ada mukmin yang faqir. Karena apa? Dekat dengan yang menciptakan surga. Cinta kami kepada Allah Swt. lebih besar daripada surgaNya. Begitupula cinta kami kepada Baginda Nabi Saw. Lebih-lebih cinta kita kepada Baginda Nabi Saw. bagian dari syukur kepada Allah Swt.

Karena apa? Kita menjadi umat Islam, orang yang beriman, bisa membedakan mana yang haq dan batil, mana kalamullah, dan mana yang halal-mana yang haram. kita bisa berbakti pada orangtua, taat pada segala perintah Allah, dlsb., tanpa mengenal Baginda Nabi Saw. mana mungkin kita kenal itu semuanya!? Maka dengan dilahirkannya Baginda Nabi Saw., sejauh mana kita mengenal Baginda Nabi Saw. Karena tanpa kelahiran Nabi Saw., mustahil ada bi’tsah ataupun risalah. Dan tidak mungkin Islam dan al-Quran akan diturunkan karena tidak ada yang di-maulud-kan. Karena ada yang di-maulud-kan itulah adanya bi’tsaturrasul wannubuwwah, nuzul al-Quran dan Islam diturunkan oleh Allah Swt. kepada Baginda Nabi Besar Saw.

Sejauh mana kita mengucapkan terimakasih kita kepada Baginda Nabi Saw.? Seandainya kita kaya, gunung segala gunung dijadikan emas, untuk memberikan hadiah kepada Baginda Nabi Saw. atau membayar budi, jangan dikira cukup. Belum! Sebab,

تَمَامُ النِّعْمَةِ مَوْتٌ عَلَى الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ

“Kenikmatan paripurna adalah mati membawa iman dan islam.” Mana mungkin mendapatkan tamamunni’mah mautun ‘alal iman wal islam sedangkan sama Baginda Nabi Saw. tidak mencintai.

Satu hadits diterangkan:

أَوَّلُ مَا يَسْأَلُنِيْ فِيْ قَبْرِيْ عَنِّيْ

Pertamakali kelak di kubur yang ditanyakan sebelum ditanya “man rabbuka”, yang ditanya kenal tidak kamu dengan Muhammad Saw. Kalau kenal pasti bisa menjawab man rabbuka waman nabiyyuka, dst. Tapi yang tidak kenal mana mungkin akan bisa menjawab.

Para auliya (wali Allah) tidak takut karena kehilangan istrinya, dunianya atau anak-anaknya, dlsb. Tidak. Para beliau itu cuma satu yang ditakuti. Apa? Kalau keluar dari dunia fana ini mautun ‘ala su-il khatimah (dalam keadaan mati suul khatimah). Itu yang ditakuti oleh semua auliyaillah. Bukan karena husnul khatimah lalu dapat surga, tidak.  Ingin mautun ‘ala husnil khatimah karena surga, tidak. Mautun ‘ala husnil khatimah karena kecintaannya kepada Allah Swt., (dan) tidak sampai jauh dirinya dengan Allah Swt. Sebab kalau sampai suul khatimah akan jauh dengan Allah Swt. dan RasulNya.

Para beliau mujahadahnya tiap malam luar biasa. Bukan mujahadah baca hizib, baca ini dan itu supaya ditembak tidak mempan, dibacok tidak mempan. Atau baca wiridan supaya mahabbah atau dapat rejeki yang banyak. Itu nomor tiga, empat, atau lima. Tapi yang diperhatikan oleh para auliya semuanya takut kalau dirinya keluar dari dunia ini tidak sempat membawa nikmat iman dan Islam. Karena itu dicap nantinya sebagai orang yang tidak mengerti syukur, berterimakasih kepada Baginda Nabi Saw.

مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ

“Siapa tidak berterimakasih kepada manusia, sama halanya dia tidak berterimakasih kepada Allah Swt.”

Disinilah maqamatil khauf warraja’ (kedudukan takut dan harap) bertalian terus. Disinilah peran al-iradah, mengharap atau menghendaki, “Ya Allah ya Rabb, janganlah Engkau tinggalkan sekejap mata pun dari pandanganMu. Jangan Engkau tinggalkan pandanganku dari pandanganMu ya Allah. Dalam perilakuku, langkah kakiku, jangan sampai aku ini tertinggal dari taufiq dan hidayahMu.” Inilah orang yang (memiliki) khauf, iradah dan raja’ kepada Allah Swt. Selalu mendampingi, mengawal kehidupannya.

Kalau sudah maqamaturraja’ tumbuh maqamatusshiddiq, benar. Benar (shiddiq) fil qulub, wasshiddiq fillisan, wasshiddiq finnadzar, wasshiddiq fissama’. Kalau orang sudah mempunyai sifat shiddiq bukan benar niatnya saja, mata dan lisannya pun akan ikut shiddiq. Akan benar, dia takut mengeluarkan se-ayat dua ayat, dia takut mengeluarkan fatwa per-fatwa. Sebab sebelum mereka yang mendengarkan dituntut di hadapan Allah, orang itu dahulu yang menyampaikan fatwa. Iya kalau benar, kalau tidak? Mas-ul fi yaumil qiyamah (akan dipertanggungjawabkan di hari kiamat). Jangan dikira mudah. Itulah para ulama shalihin, luar biasa.

Kalau sudah shiddiq matanya, matanya ini diajak benar, mau benar. Kalau diajak salah, tidak mau (mengikuti) salah. Karena apa? Sudah kebiasaan benar. Telinga pun,

مِنْ نُوْرِ الْإِيْمَانِ يَتَلَأْلَأْ

“Bercahaya disinari iman.” Untuk mendengarkan yang jelek, mendengarkan yang tidak baik, telinga ini tidak akan mau. Karena apa? Shiddiqnya sudah sampai ke telinga dan matanya, apalagi tutur katanya.

Kalau sudah shiddiq, tahu persis bagaimana. Walaupun toh ini benar tapi akibatnya membuka aib saudara mukmin kita sendiri, cara menyampaikannya pun berbeda. Karena, walaupun benar adakalanya membuka aibnya orang.

Contoh –maaf ibu-ibu dan bapak-bapak tidak usah ditertawakan karena saya tidak suka ditertawakan-, ada bapak atau oknum lah umpanya. Kalau di rumah sendiri itu biasanya pakai sarung yang seenaknya saja sambil nonton tivi. Tidak tahu auratnya kelihatan. Diantara teman-temannya yang duduk sedang nonton tivi tahu kalau orang ini auratnya terbuka karena sarungnya terbuka. Kalau orang yang menyampaikan benar ini tidak tepat, akan membuka aibnya. “Hei mas, sarungmu terbuka, auratmu kelihatan.” Orang yang tidak mendengar akhirnya jadi melihat dan mendengar semuanya. Membenarkan, menyampaikan pendapat, tapi membuka aibnya orang.

Tapi kalau Rasulullah Saw., menyampaikan benar justeru menghormati orang yang dibenarkan (diluruskan). Itulah hebatnya menunjukkan rahmatan lil ‘alamin. Kalau orang yang mengikuti jejak sunnah Baginda Nabi Saw., adabnya begitu tahu langsung (bilang), “Mas mas, bangun sebentar, saya ada urusan (perlu)”. Begitu ia bangun, tertutup kan auratnya. Begitu tertutup auratnya, dia ajak keluar, “Ada apa yah?” dijawab, “Sorry, tadi kelihatan auratnya.” “Ya, ya, betul. Terimakasih, terimakasih,” ucapnya sangat berterimakasih.

Ada juga orang nahi munkar –umpamanya- ada seseorang yang merokok kretek, ada cengkehnya. Kebetulan dia pakai sarung. Begitu dihisap, Seppp”, (ada yang) jatuh ke sarungnya. Kira-kiranya kan cepat terbakarnya. Betul ndak? Coba kalau kita menyampaikannya, “Mohon maaf Pak, itu ada latu-nya.” Malah akan terbakar duluan, habis. Tapi begitu tahu ada api di sarungnya, langsung saja “Maaf!” sambil ditepuk. Padahal ditepuk, sakit, tapi (karena) sarungnya selamat yang ditepuk malah berterimakasih. Itu hebatnya rahmatan lil ‘alamin. Menirunya susah.

Tapi adakalanya mau menyampaikan yang benar, juga salah padahal benar. (Misal) Minum kopi, tak tahunya tempat kopinya (pisin) masih basah ada air kopinya. Begitu akan diangkat, (ditepuk) “Hei maaf maaf,” malah tumpah jadinya. Ada tempatnya yang harus keras dan ada tempatnya yang harus lunak. Orang-orang yang demikian setelah mewarnai dengan ash-shiddiq.

Yang keempat haya’, malu kepada Allah Swt. Kami mendapat fadhal dari Allah Swt. dijadikan semulia-mulianya umat. Umatnya siapa? Afdhalul makhluqat (paling mulianya makhluk Allah Swt.), sayyidul anbiya’ wal mursalin. Mesti bertanya pada dirinya, “Ya Allah ya Rabb, apakah kami ini golongan orang kelak yang akan memalukan Baginda Nabi Saw. di hadapanMu ya Allah? Jangan sampai aku menjadi umat yang akan memalukan Baginda Nabi Saw., memalukan guru-guruku, memalukan kedua orangtuaku,” dlsb. Itu al-haya’.

Sampai dengan perbuatan, muamalah yaumiah (perilaku keseharian), kalau haya’ kepada Rasulullah Saw., “Malu ah masa pakai baju tangan kiri dulu, malu dong pada Rasulullah.” Disamping juga tangan kanan itu sunnah. Itu diantaranya. Sampai mau berbicara yang kurang baik atau seronok, dia akan berpikir, “Malu ah, Rasulullah tidak berbicara yang demikian.”

Kalau haya’ (malu )nya sudah jadi, al-mahabbah (cinta)nya  luar biasa. Kalau sudah mahabbah betul-betul kepada Allah Swt., ridha yang ada. Tapi ini kelas berat Pak, diberi sakit, “Biarin! Yang memberi sakit yang saya cintai koq.” (Tetap) Ikhtiar, karena menetapi perintah, bukan karena apa-apa. Diberi penyakit, karena diniati ibadah, diterimanya dengan senang. Karena apa? Karena yang memberi penyakit adalah yang paling dicintai. Berat sekali, kelihatannya sepele.

Kalau tidak cepat-cepat kita belajar dalam ilmunya hati, apa yang ada di dalam batin al-Quran, di dalam dunia tasawuf, kita tidak sulit untuk mempelajari yang demikian. Dan (demi) untuk bekal selanjutnya dan selanjutnya.

(*Ibj. Ditranskrip dari ceramah Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pengajian Jum’at Kliwon 11 Nov. 2016: https://youtu.be/HPF9GDUV508).

Selasa, 08 November 2016

Doa ayah...

"Kelak engkau akan tumbuh dewasa pesan ayahmu dengarkan kata hati mu nak jangan selalu engkau kau dengar isi kepala mu karna isi kepala hanya ambisi dan nafsu belaka...

"Ketika engkau memandang dengan kacamata kebencian,kecintaan,kebijakan,kesalahan kebenaran tentu akan berbeda tampak dan wujudnya yang di pandang Ketika engkau datang dengan menggunakan salah satu kacamata tersebut,ketika itu anda di tipu olehnya Maka,lepaskanlah kacamata tersebut Maka SEGI PANDANG yang ada pada dirimu yang akan berbicara Selagi SEGI PANDANG mu masih berkacamata,selama itu engkau akan terhalang dari nyatanya sang SEGI PANDANG..

"Dengarkanlah Suara Hati yang terdalam yaitu “Rasa & Kesadaran” yang di dalamnya tiada keragu2an yang ada hanya liputan ketenangan kedamaian,kelapangan,ketentraman maka disitulah Suara Hati yang Haq’ maka dengarkan lah apa yang terbetik di dalamnya Namun jika suara itu terliputi oleh sangka2,keragu2an,kebimbangan,kegundahan,ketergesa’an,Ambisi dll….maka disitu adalah Suara yang telah bercampur dengan ke-DIRI-an/ke-EGO-an/Hawa Nafsu maka tinggalkanlah dan berserah dirilah kepada Allah Swt semoga Allah membebaskan diri dari belenggu ke-DIRI-an/ke-EGO-an/Hawa Nafsu tsb....

#Doa ayah mu slalu menyertaimu.....

tahlilan khotam Quran

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١- الْفَاتِحَةَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و...