HASAN AL-BASHRI
Ketika ia ditanya: "Apakah
Islam, dan siapakah ummat Muslim?" ia menjawab: "Islam ada di dalam
buku, dan muslim ada di pusara."
APA YANG SESUNGGUHNYA DIKETAHUI MANUSIA
Manusia menganggap, secara khayal,
bahwa mereka mengetahui Kebenaran dan pemahaman Ilahiyah. Kenyataannya, mereka
tidak tahu apa-apa.
(Al-Jurjani)
SUFYAN ATS-TSAURI
Seorang pria dalam mimpinya berjumpa
dengan Sufi yang dihormati karena perbuatan baiknya. "Aku diberi
penghargaan karena menyingkirkan kulit buah di jalan, yang seseorang dapat
terpeleset olehnya," ujar si Sufi.
Ketika hal ini dilaporkan kepada
Sufyan ats-Tsauri, berkata; "Betapa beruntungnya ia tidak dihukum untuk
setiap peristiwa dimana ia beramal dan merasa senang atas perbuatan itu."
(Al-Ghazali)
DOSA
Dosa menentang Allah adalah satu
hal; tetapi dosa pada sesama manusia adalah lebih buruk.
(Sufyan ats-Tsauri)
MANUSIA HARUS DALAM KEADAAN BENAR
Uwais al-Qarni berkata pada beberapa
pengunjung:
"Apakah engkau mencari Allah?
Jika demikian, mengapa engkau datang kepadaku?"
Para pengunjung hanya berpikir bahwa
mereka memang mencari Allah. Kehadiran mereka dan emanasi (pancaran) mereka
terbuka.
"Jika engkau tidak
demikian," lanjut Uwais, "kendaraan apa yang mengangkut dirimu
denganku?"
Karena mereka para cendekiawan dan
emosionalis, mereka tidak dapat memahaminya.
BAYAZID AL-BISTHAMI
Seorang Majusi pemuja api ditanya,
mengapa ia tidak menjadi Muslim.
Ia menjawab:
"Jika maksudmu bahwa aku harus
menjadi orang sebaik Bayazid, aku tidak berani. Bagaimanapun, jika maksudmu aku
harus menjadi orang sejelek engkau, aku tidak sudi."
KELAS
Kelas-kelas yang lebih rendah pada
masyarakat adalah mereka yang mempergemuk diri sendiri dalam kehidupan atas
nama agama.
(Ibnu al-Mubarak)
NAMA-NAMA
Engkau menyebutku orang Kristen,
untuk membuatku marah dan membuat dirimu sendiri merasa senang. Lainnya
menyebut diri mereka orang Kristen, untuk membuat diri mereka sendiri merasakan
emosi yang lain. Baiklah jika kita berurusan dengan kata-kata yang menyenangkan,
aku akan menyebutmu penyembah setan. Itu akan memberimu suatu agitasi yang akan
menyenangkan dirimu untuk beberapa waktu.
(Zabardast Khan)
BAYAZID AL-BISTHAMI
Seorang pria religius yang tulus,
murid Bayazid, suatu hari berkata padanya:
"Aku terkejut bahwa seseorang
yang menerima Allah tidak harus hadir di masjid untuk shalat."
Bayazid menjawab:
"Aku, di lain pihak, terkejut
bahwa siapa pun yang mengetahui Allah dapat memuja dan tidak kehilangan akal
sehatnya, menjalankan shalatnya yang tidak sempurna."
MELAYANI
Aku tidak akan melayani Allah
seperti seorang buruh, dalam pengharapan akan upahku.
(Rabi'ah al-Adawiyah)
MENJADI SEORANG BERIMAN
Engkau mungkin melihat dirimu
sendiri menjadi seorang beriman, bahkan bila engkau adalah penganut
kemusyrikan.
Tetapi engkau tidak dapat
benar-benar percaya pada sesuatu sampai engkau menyadari proses di mana engkau
berada pada posisimu.
Sebelum engkau melakukan ini, engkau
harus siap pada dalil (postulat), bahwa semua keyakinanmu mungkin salah, bahwa
apa yang engkau anggap keyakinan mungkin hanya sejenis prasangka yang
disebabkan oleh sekitarmu --termasuk warisan leluhurmu, yang engkau mungkin
memiliki keterikatan perasaan padanya.
Keyakinan sejati milik kerajaan
pengetahuan sejati. Hingga engkau memiliki pengetahuan, keyakinan adalah
gabungan opini semata, bagaimanapun hal itu mungkin tampak bagimu. Gabungan
opini melayani kehidupan biasa. Keyakinan hakiki dimungkinkan oleh pembelajaran
yang lebih tinggi.
(Diatributkan pada Ali)
PANDAI BESI DARI NISYAPUR
Abu Hafsh sang pandai besi dari
Nisyapur menunjukkan tanda-tanda anugerah yang aneh melalui kekuatan
perhatiannya, dari awal ia menjadi murid. Ia diterima sebagai penganut Syeikh
Bawardi, dan kembali ke bengkel melanjutkan kerjanya. Ketika pikirannya
terpusat, ia menarik sepotong besi membara dari tempaan dengan tangan
telanjang. Kendati ia tidak merasa panas, pembantunya pingsan melihat pemandangan
yang belum pernah terjadi ini.
Ketika ia menjadi Syeikh Agung kaum
Sufi di Khurasan, tercatat bahwa ia tidak berbicara bahasa Arab dan menggunakan
penerjemah ketika berbicara dengan pengunjung Arab. Namun, ketika ia
mengunjungi Sufi agung di Baghdad, ia berbicara dengan bahasa demikian bagus
sehingga kemurnian bicaranya tidak tertandingi.
Ketika Syeikh Baghdad memintanya
untuk mengatakan pada mereka arti kemurahan hati, ia menjawab, "Aku akan
mendengar penjelasan yang lain lebih dulu."
Guru al-Junaid kemudian berkata,
"Kemurahan hati adalah tidak menyamakan kemurahan hati dengan dirimu
sendiri, dan tidak mempertimbangkannya."
Abu Hafsh berkomentar,
"Perkataan Syeikh sangat bagus. Tetapi aku merasa bahwa kemurahan hati
berarti melakukan keadilan tanpa menghendaki keadilan."
Al-Junaid berkata pada yang lain,
"Berdirilah kalian semua! Karena Abu Hafsh melebihi Adham dan seluruh
bangsanya."
Abu Hafsh pernah berkata, "Aku
meninggalkan kerja, dan kemudian kembali. Lalu kerja meninggalkanku, dan aku
tidak pernah kembali."
(Hujwiri: The Revelation of the
Veiled)
ASY-SYIBLI DAN AL-JUNAID
Abu Bakr ibnu Dulaf ibnu Jahdar ('asy-Syibli'), dan Abul Qasim
al-Junaid, si 'Merak Kaum Terpelajar', adalah dua guru Sufi awal. Mereka berdua
hidup dan mengajar lebih dari seribu tahun yang lalu. Kisah tentang masa
belajar asy-Syibli di bawah al-Junaid, diberikan di sini, diambil dari The
Revelation of the Veiled, salah satu dari buku-buku penting dalam bidangnya.
al-Junaid sendiri memperoleh spiritualitasnya melalui pengaruh Ibrahim ibnu
Adham ('Ibnu Adhem' dalam puisi Leigh Hunt), ia sebagaimana Budha, adalah
seorang pangeran yang turun tahta mengikuti tarekat (Jalan), dan meninggal pada
abad kedelapan.
Asy-Syibli, anggota istana yang
angkuh, pergi ke al-Junaid, mencari pengetahuan sejati. Katanya, "Aku
dengar bahwa engkau mempunyai karunia pengetahuan. Berikan, atau juallah
padaku."
Al-Junaid berkata, "Aku tidak dapat
menjualnya padamu, karena engkau tidak mempunyai harganya. Aku tidak memberikan
padamu, karena yang akan kau miliki terlalu murah. Engkau harus membenamkan
diri ke dalam air, seperti aku, supaya memperoleh mutiara."
"Apa yang harus
kulakukan?" tanya asy-Syibli.
"Pergilah dan jadilah penjual
belerang."
Setahun berlalu, al-Junaid berkata
padanya, "Engkau maju sebagai pedagang. Sekarang menjadi darwis, jangan
jadi apa pun selain mengemis."
Asy-Syibli menghabiskan satu tahun
mengemis di jalanan Baghdad, tanpa keberhasilan. Ia kembali ke al-Junaid, dan
sang Guru berkata kepadanya:
"Bagi ummat manusia, kau
sekarang ini bukan apa-apa. Biarkan mereka bukan apa-apa bagimu. Dulu engkau
adalah gubernur. Kembalilah sekarang ke propinsi itu dan cari setiap orang yang
dulu kau tindas. Mintalah maaf pada mereka." Ia pergi, menemukan mereka
semua kecuali seorang, dan mendapatkan pengampunan mereka.
Sekembalinya asy-Syibli, al-Junaid
berkata bahwa ia masih merasa dirinya penting. Ia menjalani tahun berikutnya
dengan mengemis. Uang yang diperoleh, setiap senja dibawa ke Guru, dan
diberikan kepada orang miskin. Asy-Syibli sendiri tidak mendapat makanan sampai
pagi berikutnya.
Ia diterima sebagai murid. Setahun
sudah berlalu, menjalani sebagai pelayan bagi murid lain, ia merasa menjadi
orang paling rendah dari seluruh makhluk.
Ia menggunakan ilustrasi perbedaan
antara kaum Sufi dan orang yang tidak dapat diperbaiki lagi, dengan mengatakan
hal-hal yang tidak dapat dipahami masyarakat luas.
Suatu hari, karena bicaranya tidak jelas,
ia telah diolok-olok sebagai orang gila di masyarakat, oleh para pengumpat. Dia
berkata:
Bagi
pikiranmu, aku gila.
Bagi
pikiranku, engkau semua bijak.
Maka
aku berdoa untuk meningkatkan kegilaanku
Dan
meningkatkan kebijakanmu
'Kegilaanku'
dari kekuatan Cinta;
Kebijakanmu
dari kekuatan ketidaksadaran.
GHULAM HAIDAR DARI KASHMIR
Mendengarkan suatu perdebatan
diantara murid-muridnya, mengenai pentingnya ketaatan dengan sangat teliti
terhadap hukum keagamaan, sebagai sarana penerangan, Ghulam Haidar memberi
perintah, atas suatu alasan, agar mengumpulkan orang-orang berikut dan dibawa
ke hadapannya;
Seorang Yahudi, seorang Kristen,
seorang Zoroaster, seorang pendeta Hindu, seorang Sikh, seorang Budha, seorang
Farangi ('Frank' atau Kristen), seorang Syiah, seorang Sunni, seorang penyembah
berhala, dan lainnya. Terakhir, termasuk pedagang, pekerja, petani, pendeta dan
pramuniaga, tukang roti dan berbagai tipe perempuan.
Selama tiga tahun murid-muridnya
mengumpulkan orang-orang ini di satu tempat secara bersamaan, tidak memberitahu
mereka bahwa kehadiran mereka diminta oleh guru. Dalam usaha tersebut, mereka
menyebarkan rumor, tentang harta karun di Kashmir, dijadikan pedagang, dikirim
ke tempat jauh untuk menjadi guru pribadi serta pelayan. Akhirnya, semua
terkumpul. Ketika diberitahu bahwa sudah ada, Ghulam Haidar menyuruh mereka
agar orang-orang tersebut diundang makan di Gedung Kuliahnya, Zawiya.
Ketika semua selesai makan, Pir
(Ghulam Haidar) menunjukkan kepada tamu yang sebagian besar adalah orang-orang
asing yang tidak mengikuti ajarannya. Juga hadir semua murid, yang telah
diberitahu tidak boleh ikut ambil bagian dalam acara tersebut, kecuali
menonton.
Ghulam Haidar berbicara dalam
beberapa bahasa, menjelaskan perlunya bagi manusia untuk mengabdikan dirinya
pada usaha, dan menguasai misteri yang menjadi hak asasinya, tanpa memperhatikan
prasangkanya.
Tanpa kecuali, orang-orang tersebut
berhasrat mengikuti Pir, dan rasa saling benci mereka hilang. Dan tamu-tamu
tersebut tersebar, bahwa guru dikenal sebagai 'Sepotong Roti'; mereka 'Adonan
yang dibuat Kashmir Pir', tanpa menghiraukan prasangka dasar mereka.
Setelah pertemuan ini, Haidar
berkata: "Adonan adalah adonan," dan "satu adonan tidak lebih
baik dari yang lainnya."
JANGAN MAKAN BATU
Seorang pemburu berjalan menembus
hutan, dan ia melihat sebuah papan pemberitahuan yang dibacanya: 'Dilarang
Makan Batu'.
Keingintahuannya timbul, dan ia
mengikuti jalan setapak melewati tanda tersebut sampai tiba di sebuah gua, di
pintu masuk terdapat seorang Sufi sedang duduk.
Sufi berkata padanya:
"Jawaban untuk pertanyaanmu
adalah bahwa engkau tidak pernah melihat sebuah pemberitahuan larangan makan
batu, karena memang tidak dibutuhkan siapa pun. Tidak makan batu bisa disebut
kebiasaan umum."
"Hanya apabila manusia mampu
menghindari kebiasaan lain yang sama, bahkan lebih destruktif daripada makan
batu, ia akan bisa melebihi keadaannya yang menyedihkan pada saat ini."
MENGAPA ANJING TIDAK DAPAT MINUM
Asy-Syibli ditanya:
"Siapa yang membimbingmu di
jalan?"
Ia berkata, "Seekor anjing.
Suatu hari aku melihatnya hampir mati kehausan, berdiri di tepi air. Setiap
kali melihat bayangannya di air, ia ketakutan dan mundur, karena dikiranya itu
anjing lain. Akhirnya, karena sangat membutuhkan, ia mengusir rasa takutnya dan
melompat ke air; dan 'anjing lain' itu pun lenyap."
Anjing tersebut menemukan bahwa
rintangan, yang ternyata dirinya sendiri, penghalang antara dirinya dan apa
yang ia cari, mencair.
"Dalam cara yang sama,
rintanganku sendiri lenyap, ketika aku tahu bahwa itu adalah apa yang kuambil
sebagai milikku sendiri. Dan jalanku pertama kali ditunjukkan padaku melalui
perilaku seekor anjing."
PERAGAAN LATIHAN
Suatu hari, orang yang jahat
mengundang Osman al-Hiri untuk makan bersamanya. Ketika Syeikh datang, orang
tersebut mengusirnya. Tetapi ketika sudah pergi beberapa langkah, ia
memanggilnya kembali.
Hal ini terjadi lebih dari tigapuluh
kali, sampai orang lain, tidak sabar melihat kesabaran dan kelembutan sang
Sufi, segera berlutut mohon ampun.
"Engkau tidak mengerti,"
ujar al-Hiri, "Apa yang kulakukan tidak lebih dari yang dilakukan anjing
terlatih. Kalau engkau memanggilnya, ia datang; ketika engkau mengusirnya, ia
pergi. Perilaku ini bukan ciri Sufi, dan tidak sulit dilakukan oleh siapa
pun."
APA YANG DIUCAPKAN SETAN
Pada suatu ketika terdapatlah
seorang darwis. Saat duduk merenung, ia memperhatikan bahwa terdapat semacam
setan di dekatnya.
Si darwis berkata, "Mengapa
engkau duduk di sana, tidak berbuat jahat?"
Setan mendongakkan kepala dengan letih,
"Sejak para ahli dan calon guru di tarekat semakin bertambah, tidak ada
lagi yang dapat kulakukan."
EMPAT SYEIKH DAN KHALIFAH
Khalifah Manshur memutuskan untuk
mengangkat salah satu dari empat Syeikh Sufi Agung, menjadi Hakim Agung di
Kerajaan. Mereka dipanggil ke Istana -- Abu Hanifah, Sufyan ats-Tsauri, Misar
dan Syuraih -- tetapi di jalanan mereka sudah membuat rencana.
Abu Hanifah, salah seorang dari
Empat Doktor Utama Ilmu Hukum, sebagaimana dia sekarang disebut, berkata:
"Aku akan lari dari kedudukan tersebut dengan pengelakan. Misar akan
berpura-pura gila. Sufyan akan melarikan diri; dan aku perhitungkan bahwa
Syuraih yang akan menjadi Hakim."
Sufyan segera pergi dan menghilang,
melarikan diri menjadi terhukum karena tidak setia. Tiga orang yang lainnya
masuk dan mendatangi Khalifah.
Pertama, Manshur berkata pada Abu
Hanifah, "Engkau akan menjadi Hakim."
Abu Hanifah menjawab, "Wahai
Pemimpin Ummat, aku tidak bisa, aku bukan orang Arab; oleh karena itu aku tidak
mungkin diterima oleh orang-orang Arab."
Khalifah berkata, "Ini tidak
berkaitan dengan darah. Kita perlu pelajaran, dan engkau guru paling dihormati
saat ini."
Abu Hanifah bersikeras, "Jika
kata-kataku benar, aku tidak dapat menjadi Hakim. Dan jika mereka salah, aku
tidak pantas untuk kedudukan itu, dan karena itu aku tidak memenuhi
syarat."
Maka Abu Hanifah menjelaskan
maksudnya, dan dibebaskan.
Misar, calon kedua yang merasa
segan, mendekati Pemimpin Ummat dan menyentuh tangannya, menangis:
"Apakah engkau baik-baik,
engkau dan si kecil dan ternakmu?"
"Bawa dia," teriak
Khalifah, "Karena jelas ia gila."
Hanya tinggal Syuraih, dan mengaku
sakit. Tetapi Manshur menyuruhnya menjalani pengobatan, dan menjadikannya
Hakim.
MASALAH KEHORMATAN
Seorang Sufi pengembara, ditemukan
di padang pasir, dibawa ke tenda kepala suku Badui yang liar.
"Kau mata-mata musuh kami, dan
karena itu kami akan membunuhmu," ujar kepala suku.
"Aku tidak bersalah,"
jawab Sufi.
"Kau lihat pedang ini?"
tanya Sufi, menggambar pedang. "Sebelum kau dapat mendekatiku, akan kubunuh
salah satu dari orang-orangmu di sini. Jika kulakukan; kau akan memiliki hak
yang sah untuk membalas kematiannya. Sementara melakukan itu, aku akan
menyelamatkan kehormatanmu, yang saat ini dalam bahaya karena ternoda oleh
darah seorang Sufi."
FUDHAIL ORANG JALANAN DAN ANAKNYA
Fudhail ibnu Ayyadh, dulunya adalah
orang gelandangan. Setelah berubah ke kehidupan religius, ia merasa bahwa
dirinya menyembah Allah di jalan yang benar dan membayar perbuatan jahatnya,
karena itu ia mencari semua korban dan mengganti kerugian mereka. Suatu hari,
ia merasakan pengalaman aneh. Ia meletakkan anaknya di lututnya dan menciumnya.
"Apakah engkau menyayangiku?" tanya si anak, "Ya, tentu
saja," jawab Fudhail. "Tetapi bukankah engkau juga menyayangi Allah,
seperti yang sering engkau katakan padaku?" "Ya, aku yakin
demikian," jawab si ayah.
"Tetapi bagaimana, engkau dapat
dengan satu hati mencintai dua kekasih?"
Sejak saat itu Fudhail menyadari
bahwa apa yang dicintai, sesungguhnya hanyalah sentimentalitas, dan bahwa ia
harus menemukan bentuk cinta yang lebih tinggi.
Peristiwa tersebut adalah merupakan
asal perkataannya:
"Apa yang secara umum dianggap
sebagai pencapaian ummat manusia paling tinggi atau mulia, sesungguhnya adalah
tingkatan paling rendah dari hal-hal tinggi yang mungkin dicapai bagi ummat
manusia."
MASALAH KEDERMAWANAN
Seorang murid, memberi hormat kepada
Sufi, dengan penuh ingin tahu ia bertanya, "Mengapa tigapuluh bagal Herat
yang amat bagus ada di halaman Anda?"
Sang Guru menjawab, "Mereka
untukmu."
Murid senang sekali mendengar bahwa
mereka semua untuknya, kendati demikian ia bertanya, "Aku harus membayar
tentunya?"
"Harganya," ujar guru,
"mungkin lebih dari yang dapat kau bayar dengan dirimu sendiri. Tetapi
syaratnya, jangan mengatakan pada siapa pun bahwa aku memberimu bagal. Aku di
sini bukan untuk dikenal sebagai 'orang baik' diantara orang lain karena
perbuatan demikian. Pada umumnya orang berpikir bahwa sesuatu 'baik' yang
akibat dan asalnya tidak dapat mereka mengerti."
"Tidak ada yang lebih kecil
daripada hargamu," jawab murid. Ia tuntun bagal-bagal tersebut dengan
gembira, berbicara pada dirinya sendiri, "Guruku sesungguhnya
menguntungkan diriku. Ini manifestasi luar dari suatu berkah bagian
dalam."
Senja tiba, dan dalam beberapa saat
murid tersebut sudah ditangkap patroli malam. Salah seorang dari mereka bicara
pada yang lain, "Kita tuduh saja orang ini atas kejahatan tertentu yang
tidak dapat kita pecahkan. Kita dapat menduga bahwa ia membeli bagal-bagal ini
dari keuntungannya mencuri, jika ia tidak dapat mempertanggungjawabkan
kemilikan mereka. Ia mungkin bersalah, tengah dalam pengobatan dan miskin.
Sebagian dari kita pernah melihatnya sebelumnya, dan percaya bahwa ia mempunyai
teman dengan karakter rneragukan."
Dibawa ke depan pengadilan sumir, si
murid pertama-tama menolak menjawab berbagai pertanyaan tentang asal-mula bagal
tersebut. Hakim yang memeriksa memerintahkan agar ia dimasukkan ke tempat
interogasi.
Sementara itu, murid yang lain
mendatangi guru, yang mengirim mereka, secara berantai, mengikuti nasib dari
murid pertama.
Mereka melaporkan, dari waktu ke
waktu, "Ia menolak bicara," dan, "Ia semakin lemah -- mereka
menyiksanya."
Akhirnya Sufi berdiri dan
tergopoh-gopoh menuju pengadilan.
Ia bersaksi hahwa dirinya yang
memberi bagal-bagal kepada orang tersebut,. karenanya si tahanan dibebaskan.
Kemudian ia menunjuk pengadilan, muridnya dan publik, yang bingung atas
peristiwa tersebut:
"Reputasi kedermawanan
mengandung tiga kejahatan; ia dapat merusak manusia yang mempunyai reputasi
ini; dapat membahayakan manusia yang memuja kedermawanan jika ia menirunya
secara bebal; dapat mengikis siapa pun yang menerima kedermawanan jika ia tahu
pemberinya. Seharusnya tidak ada kewajiban apa-apa. Itulah mengapa Sufi
berkewajiban melatih kedermawanan dengan kerahasiaan yang lengkap.
Bentuk kedermawanan paling tinggi
yang dikenal orang awam sebanding dengan tingkat paling rendah kedermawanan
sejati. Semula diadakan sebagai cara mengenalkan orang pada kebebasan. Kemudian
menjadi berhala dan kutukan."
ORANG YANG BERUNTUNG
Al-Mahdi Abbassi mengemukakan
pendapat yang dapat dibuktikan bahwa, apakah orang-orang mencoba membantu
seseorang atau tidak sesuatu yang ada pada seseorang dapat menggagalkan sebuah
tujuan tersebut.
Beberapa orang keberatan dengan
teori ini, ia menjanjikan sebuah demonstrasi. Ketika setiap orang lupa
peristiwa tersebut, al-Mahdi menyuruh seorang pria meletakkan sekarung emas di
tengah jembatan. Pria lain diminta membawa orang berhutang yang tidak beruntung
ke salah satu ujung jembatan dan menyuruhnya menyeberang.
Abbassi dan saksi-saksinya berdiri
di ujung jembatan yang lain. Ketika orang itu pergi ke ujung lain, Abbassi
bertanya padanya, "Apa yang kau lihat di tengah jembatan?"
"Tidak ada,", jawabnya.
"Bagaimana bisa demikian?"
"Segera setelah aku mulai
menyeberangi jembatan, pikiran yang ada padaku adalah bahwa barangkali
menyenangkan menyeberang dengan mata tertutup. Dan kulakukan."
BUNGA DAN BATU
Ketika guru agung dan syuhada Manshur al-Hallaj berada
di tengah kerumunan, dihukum karena kemurtadan dan bid'ah, ia tidak menunjukkan
tanda-tanda kesakitan saat tangannya dipotong di depan umum.
Ketika kerumunan orang melempar batu
yang menyebabkan luka parah, ia tenang saja. Salah seorang temannya, seorang
guru Sufi, mendekatinya dan memberinya -- bunga.
Manshur berteriak seolah dalam
siksaan.
Ia melakukan ini untuk menunjukkan
bahwa ia tidak dapat disakiti oleh perbuatan orang-orang yang mengira mereka
berbuat benar. Tetapi hanya sentuhan dari orang yang tahu, seperti dia, bahwa
dirinya dihukum dan dituduh dengan tidak adil, jauh lebih menyakitkan baginya
dari siksaan apa pun.
Manshur dan teman Sufinya, tidak
berdaya kendati mereka ada di depan tirani seperti itu, teringat akan pelajaran
tersebut. Sementara penganiaya-penganiaya mereka hampir terlupakan.
Saat sekarat, Manshur berkata,
"Orang-orang di dunia ini mencoba berbuat baik. Aku anjurkan engkau
mencari sesuatu di mana bagian paling kecilnya lebih berarti daripada semua
kebaikan; pengetahuan tentang kebenaran -- pengetahuan sejati."
HANBAL DAN PEMIKIRAN YANG TERKONDISI
Ahmad ibnu Hanbal adalah pendiri
salah satu dari empat madzhab hukum yang besar, dan sahabat beberapa Guru Sufi
awal. Di masa tua dan lemahnya, sebuah kelompok bid'ah di Baghdad merampas
kekuasaan dan mencoba menyingkirkan dirinya, yang dari sudut pandang mereka
dianggap sebagai kebenaran.
Imam Ahmad menolak, maka ia diberi
seribu cambukan dan disiksa. Sebelum mati, dan memang meninggal segera setelah
disiksa, ia ditanya apa yang ia pikirkan tentang pembunuh-pembunuhnya.
Katanya, "Aku hanya dapat
mengatakan bahwa mereka memukulku karena mereka percaya bahwa mereka benar dan
aku salah. Bagaimana aku dapat menuntut keadilan terhadap mereka yang percaya
bahwa mereka benar?"
ORANG PERCAYA APA YANG DIKIRA BENAR
Ajaran, sebagaimana kebiasaannya,
sepanjang urusan kehidupan secara umum. Syeikh Abu Thahir al-Harami mengendarai
keledainya ke pasar, seorang murid mengikuti di belakang.
Di sisinya, seseorang berteriak,
"Lihat, ini orang kafir kuno!"
Sang pengikut al-Harami, timbul
amarahnya, berteriak pada tukang fitnah tersebut. Sebelum pertikaian semakin
sengit, Sufi menenangkan muridnya, berkata, "Jika engkau menghentikan
pertengkaran ini, aku akan menunjukkan padamu bagaimana engkau dapat melarikan
diri dari persoalan seperti ini."
Mereka pergi bersama ke rumah
Syeikh. Lantas Syeikh menyuruh pengikutnya membawakan sekotak surat:
"Lihatlah ini. Semua surat ini ditujukan padaku. Tetapi mereka menulis
istilah yang berbeda. Ini seseorang menyebutku 'Syeikh Islam', kemudian, 'Guru
Mulia'. Lainnya mengatakan aku 'Orang Bijak dari Altar Kembar'. Dan
sebutan-sebutan lainnya.
Amatilah bagaimana masing-masing
sebutanku sesuai dengan anggapan mereka. Tetapi aku tidak satu pun seperti apa
yang ia pikirkan demikian. Demikian itulah yang baru saja dilakukan orang
malang di pasar tadi. Dan engkau menolaknya. Mengapa engkau berbuat demikian --
sudah menjadi aturan umum dalam kehidupan?"
ARAH MANA YANG BENAR?
Seorang bijak yang dihormati secara
luas, menjadi irrasional dalam mengajukan fakta-fakta dan argumentasi.
Diputuskan untuk mengujinya, sehingga yang berwenang di negara tersebut dapat
menyatakan apakah ia membahayakan tatanan masyarakat atau tidak.
Pada hari pengujian, ia berparade
melewati ruang pengadilan menunggang seekor keledai, menghadap ke belakang
keledai. Ketika saatnya berbicara untuk dirinya sendiri, ia berkata pada hakim:
"Saat Anda melihatku tadi, ke
arah mana aku menghadap?"
Hakim menjawab, "Menghadap ke
arah yang salah."
"Anda menggambarkan
maksudku," jawabnya, "karena aku telah menghadap ke arah yang benar,
dari sudut pandangku. Keledainyalah yang menghadap ke arah yang salah."
SANG GURU
Berkaitan dengan guru Sufi, bahwa di
masa mudanya, ia ingin mendekatkan diri pada guru yang tengah mengajar. Maka ia
mencari guru, dan minta menjadi muridnya.
Guru berkata, "Kau belum
siap."
Karena anak muda itu terus
bersikeras, guru mengatakan, "Baiklah, aku akan mengajari engkau sesuatu.
Aku akan pergi haji ke Mekkah. Ikutlah bersamaku."
Si murid sangat gembira.
"Karena kita bepergian
bersama," ujar guru, "yang satu harus memimpin, lainnya patuh. Pilih
peranmu."
"Aku akan mengikuti, Anda
memimpin," jawab murid.
"Jika kau tahu bagaimana
mengikuti," ujar guru.
Perjalanan dimulai. Saat mereka
istirahat semalam di padang pasir Hijaz, mulailah hujan. Guru berdiri dan
memegang penutup untuk murid, melindunginya.
"Tetapi ini yang seharusnya
kulakukan untuk Anda," ujar si murid.
'Aku perintahkan kau untuk
membiarkan aku melindungimu," ujar guru.
Saat tengah hari, anak muda berkata,
"Sekarang hari baru. Biarkan aku jadi pemimpin, dan Anda
mengikutiku." Guru setuju.
"Sekarang aku akan mengumpulkan
ranting kayu, untuk membuat api," kata anak muda.
"Kau tidak boleh melakukan itu,
aku yang akan mengumpulkannya," jawab guru.
"Aku perintahkan Anda duduk di
sana sementara aku mengumpulkan ranting kayu," ujar si anak muda.
"Kau tidak boleh melakukan
ini," jawab guru, "karena ini tidak sesuai dengan persyaratan
pengikut membiarkan dirinya dilayani oleh pemimpin."
Maka pada setiap kesempatan, Guru
menunjukkan pada murid, apa sesungguhnya arti murid, melalui demonstrasi.
Mereka berpisah di pintu gerbang Kota Suci. Menemui guru selanjutnya, anak muda
itu tidak dapat menemukannya.
"Itulah yang harus kau
pelajari," ujar orang lebih tua darinya, "adalah sesuatu tentang
sikap dasar hubungan murid."
Murid harus tahu bagaimana mematuhi,
bukan semata ia harus taat. Pertanyaan apakah menjadi murid atau tidak, datang
setelah seseorang tahu apa sesungguhnya murid. Orang-orang menghabiskan waktu
mereka bertanya-tanya apakah mereka harus menjadi murid -- atau yang lainnya.
Sejak asumsi mereka (bahwa mereka dapat menjadi murid jika mengharapkannya)
tidaklah benar, mereka hidup di dunia yang salah, dunia kaum intelektual.
Orang-orang seperti itu tidak mempelajari pelajaran pertama.
HILALI DARI SAMARKAND
Hilali, ditemani lima muridnya,
melakukan perjalanan jauh melintasi Asia Tengah. Dari waktu ke waktu, Hilali
membuat rombongannya bertindak dalam cara beragam. Inilah beberapa petualangan
mereka:
Ketika mereka mencapai Balkh dan
utusan dari penduduk kota datang menyambut Guru, Hilali berkata kepada Yusuf
Lang, "Kau jadilah Guru." Yusuf pun diterima dan dihormati.
Laporan-laporan menyebar tentang keajaiban yang terjadi hanya dengan tinggal di
bawah atap yang sama seperti orang-orang sakit. "Inilah apa yang
orang-orang pikir mengenai kedarwisan, dan apa yang kita tahu tidaklah
demikian," ujar Hilali.
Di Surkhab, rombongan memasuki kota
yang semua penduduk berpakaian sama, tidak seorang pun berjalan di depan yang
lain. "Manakah Guru Agung?" tanya pemimpin kota. "Akulah
ia," jawab Hilali. Tiba-tiba mereka mundur sambil berseru, "Kami
mengetahuinya melalui Cahaya Matanya."
"Ambil pelajaran dari
ini," ujar Hilali kepada rombongannya.
Ketika memasuki Qandahar mereka
diberi banyak makanan oleh Pemimpin Sardar, semua duduk melingkar. Hilali
memberi perintah bahwa ia harus diperlakukan seperti murid, dan Jafar
Akhundzada diperlakukan seperti Guru. Tetapi Pemimpin Sardar berkata,
"Bahwasanya, rombongan ini bersinar dengan cahaya spiritual, dan apa pun
yang kau katakan tentangnya, aku menganggapnya sebagai Qutub, Pusat Daya Tarik
Zaman."
Semua menghormati Hilali, yang
terpaksa memperkenalkan diri, Sardar meskipun penguasa, juga mempunyai
kapasitas merasakan apa yang tidak dirasakan orang lain.
KUTUKAN ORANG BADUI
Suatu hari, di Oasis Kufah, seorang
suku Badui yang kasar melangkahi Hasan, cucu Nabi Muhammad saw, dan mencacinya,
ayahnya dan ibunya.
Hasan berkata, "Orang Badui,
apakah kau perlu bantuan? Apa masalahmu?"
Tetapi si Badui, tanpa memperhatikan
sama sekali, terus berteriak dan menyumpah. Hasan membawa uang dan
memberikannya pada orang tersebut, dan bicara padanya lagi:
"Orang Badui, maafkan! Hanya
ini yang ada di rumah ini; tetapi aku berkata, bahwa jika kami mempunyai yang
lain, akan kuberikan padamu, tanpa syarat."
Ketika mendengar kata-kata ini, si
Badui tertegun dan menangis, "Aku bersaksi bahwa kau benar-benar cucu
Nabi. Karena aku datang ke sini untuk menguji apakah silsilahmu dan sikapmu
sesuai satu dengan yang lainnya."
MENGAPA DARWIS DI ISTANA
Salah satu perintah Hadrat ibnu
al-Khafif di Syiraz adalah: "Seharusnya Sufi tidak mendatangi penguasa,
atau datang dengan senang hati jika diundang olehnya."
Oleh karena itu, merupakan suatu
peristiwa yang mengejutkan bagi dua orang calon Sufi yang tiba di rumahnya
(Ibnu al-Khafif), saat mereka bercerita bahwa ia berada di istana raja.
Mereka berubah pikiran tentang
kesucian sang Guru dan memutuskan berjalan di kota sebagai pengganti
penghormatan mereka padanya.
Mengunjungi sebuah toko, mereka
dengan tidak merasa berdosa terlibat dalam suatu pertengkaran, karena dituduh
mencuri dan diseret di depan pengadilan raja.
Diyakinkan oleh penjaga toko bahwa
keduanya bersalah, kerajaan memerintahkan agar mereka segera dibunuh, sebagai
pelajaran bagi yang lain.
Ibnu al-Khafif, masih di pengadilan
istana, menengahi dan hidup mereka diselamatkan.
"Mungkin sudah wajar bagimu
berpikir bahwa tidak seharusnya aku ada di istana," ujar guru kepada
keduanya, "tetapi setidaknya pelajarilah bahwa seorang Sufi melakukan
hal-hal yang tak terduga karena alasan-alasan yang tidak kelihatan tetapi cukup
beralasan."